About

Jumat, 27 Desember 2013

TSUNAMI MENELAN TEMAN BARUKU


            Pertama, aku bingung apa yang ingin aku tuliskan tentang tsunami. Yang kutahu aku sama seperti kawan-kawan di Aceh yang lain, kehilangan saudara ataupun sahabat karibnya. Namun, ada kisah unik yang ingin kubagi dengan kawan-kawan sekalian. Ini tentang seorang gadis pemberani yang baru kukenal dan lenyap begitu saja ketika tsunami. Aku mengenal gadis itu hari raya idul fitri, tepat bebrapa minggu sebelum tsunami.
            Lebaran idul fitri itu, aku merasa ada hal yang terjadi di luar kebiasaan, yaitu berjumpa dengan family yang lama sudah tidak kami datangi karena konflik yang berkepanjangan. Lebaran idul fitri itu, kami sekeluarga bertekad mengunjungi seorang misyik dan keluarganya di daerah rawa. Aku tidak pernah tahu siapa nama misyik itu, namun karena ia tinggal di daerah rawa, dekat Kota Sigli, kami biasa memanggilnya misyik rawa.
            Singkat kata, berbekalkan doa dan mobil yang bak terbuka yang sering mogok, kami pergi ke sana. Begitu sampai, aku bisa melihat bagaimana harunya pertemuan itu. Tangis terisak pelepas rasa rindu serta pelukan hangat dan erat menjadi penyambut Abu dan anak-anaknya. Misyik Rawa yang rambutnya sudah putih semua sampai berkali-kali mengusap air mata. Beliau sempat bilang bahwa beliau sedih sekali sudah lama tidak kami kunjungi. Pertemuan itu terus berlanjut dengan bercerita tentang keluarga, konflik, sampai musim sawah di kampung. Entahlah, aku tidak seberapa ingat, karena ketika itu pikiranku hanya satu, ingin ke pantai dan memungut keong di sana. Berkali-kali tanganku mencoba menarik sisi belakang baju ummi dan berbisik mengajak ke laut. Namun, ummiku hanya menoleh sekali sambil menggeleng-geleng kepala sebagai bahasa isyarat “tidak boleh”.. Kuulangi lagi sampai bebrapa kali, namun rekasi ummi tetap saja sama. Akhirnya aku bosan sendiri dan hanya melalikan diri dengan turun dari rumah panggung itu dan mengutip beberapa keong lusuh di atas pasir dekat tangga.  Aku bisa melihat pantai melalui pohon-pohon rawa yang berduri. Namun, langkahku tidak berani mendekat kesana. Aku hanya duduk di atas bangku sambil mendengarkan suara ombak yang menggodaku untuk menapakkan kaki di pasir panatai. Namun, aku masih tidak berani. Sampai akhirnya seorang gadis datang nampak berjalan dari arah pantai dan masuk ke dalam rumah. Ia mengenakan jins dan kaos oblong pendek, Dari perawakannya aku mengambil kesimpulan ia adalah gadis yang tomboy dan pemberani. Sspertinya ia lebih tua dariku.
            “Nong, ajaklah si adek itu mencari keong!” kata Cek Nah, anak abusyikku tiba-tiba. Dalam hati aku langsung  bersorak riang. Apalagi saat si gadis itu langsung tersenyum dan mengiyakan. Aku langsung memakai sandal dan berlari ke pantai. Sedangkan ia menatapku tertawa dan mengikutiku.
            “Siang di pantai panas,”katanya singkat.
            “Tidak apa-apa, kami sudah lama tidak ke pantai,”kataku jujur.
            “Kenapa?”
            “Takut, Kak. Konfliknya parah daerah kami,” kataku. Kuceritakan bagaimana bom meledak di jalan dekat rumahku. Mayat yang diseret di samping rumah. Isi otak manusia yang terburai di kebun dekat pemakaman di kampungku.
            “Abangku juga mati karena ditembak. Dia mati di gunung itu,” tunjuknya ke sebuah gunung dekat pantai sebelah barat. “Mayatnya dikebumikan di sana. Kami tidak bisa melihatnya,” ceritanya.
            “Lalu bagaimana kakak tahu?”
            “Mayat abangku difoto. Nanti aku akan menampakkan fotonya padamu” katanya tanpa beban dan singkat. Meskipun aku mesih kecil, namun aku bisa berkesimpulan bahwa ia sudah terbiasa dengan kehidupan konflik yang keras. Saat itu kami terus berjalan melewati pandan berduri khas rawa-rawa.  Di antara pandan yang melebihi tingginya orang dewasa, rumah-rumah keci dari kayu berdiri.
            “Itu rumah kakakku,” katanya lagi menunjukka
            “Orang tua kakak?”
            “Sudah meninggal. Rumah tempat kami tinggal sekarang rumah orang tuaku”, jawabnya sambil senyum. Aku hanya ber-o panjang.
            “Kakak kelas berapa?”
            “Aku tidak sekolah lagi. Aku keluar dari SD karena takut disuntik. Setelah itu konflik seakin parah. Kami mengungsi, dan aku benar-benar tidak sekolah lagi.” Katanya santai. Aku hanya menggeleng-geleng kepala.
            Hari itu aku benar-benar puas berjalan di panati sambil memungut bebarapa keong. Kami berteduh ke pinggir pantai saat matahari benar-benar pas dia tas kepala.
            “Aku pulang sebentar, ya? Tunggu disini,” katanya sambil berlari pulang tiba-tiba. Aku menatapnya heran, namun mengangguk mengiyakan. Sesaat ia kembali dengan beberapa lembaran foto di tangannya.
            “Ini abangku,” tangannya menunjuk gambar seorang pemuda berpakaian loreng dan memegang senjata laras panjang.   “Ini mayat abangku setelah ditembak,” tangannya menunjuk sebuah foto yang lain. Aku begidik ngeri. Aku bisa melihat sesosok mayat berlumuran darah. Wajah mayat itu memar dan penuh sabetan. Gadis itu tertawa. Ia melanjutkan ceritanya bahwa ia ingin berjuang seprti abangnya. Entahlah, aku tidak paham dengan jalan pikirannya. Sangat berbeda denganku yang takut dengan suara tembakan. Mendengar orang bertengkar saja lututku langsung lemas.
            “Dek Dah! Ayo kita pulang!” suara ummiku terdengar dari jauh, Kulihat ummi memanggil-manggilku di depan rumah abusyik.
            “Kak, aku pulang dulu, ya” kataku kemudian.
            “Kapan kau akan kesini lagi?” tanyanya kemudian. Kami berdua lama perpandangan resah.
            “Mungkin lebaran idul adha nanti, kalau Ummi dan Abu memang pergi,”kataku. Iya mengangguk.
            “Mau ikut kami, Kak?” tanyaku basa-basi.
            “Nanti ya, waktu Cek Nah ke rumah kalian,” katanya tertawa.
            Ia ikut mengantarku ke mobil. Lama aku menatapnya. Sesaat terasa bahwa ia sangat akrab dan berkesan bagiku. Ia mempunyai jalan hidup yang unik dan keras. Namun, ia juga gadis yang sangat polos. Aku pun meninggalkannya yang berdiri di pinggir jalan sambil melambaikan tangan.
            Beberapa minggu kemudian, tsunami terjadi.  Kudengar kabar bahwa semua keluargaku di Rawa hilang dalam gelombang. Kutanya pada ummi tentang gadis itu. Ummi bilang ia dan keluarganya juga lenyap tak berjejak. Dalam sekejap pikiranku terbayang bagaimana Rawa dan sekitarnya dilahap air bah. Aku bayangkan bagaimana ia berjuang dalam gelombang maut itu. Meski baru pertama bertemu, namun aku merasa kehilangan sekali. Aku tersadar bahwa lambaian tangannya adalah yang pertama dan terakhir untukku. Entah dimana jasadnya bersemayam, tidak ada yang tahu. Namun, tidak peduli dimanapun ia, semoga Allah ampuni dosa-dosanya dan lapangkan kuburnya. Ia kawan baruku…
 
Orang-orang berlarian menyelamatkan diri.
           
           
Air bah menerjang daratan.

setelah tsunami

             
           
           

Sabtu, 16 November 2013

CINTAMU UNTUK ACEH





Aku mengenal gadis itu dua minggu lalu. Tidak ada hal yang sitimewa darinya. Gadis itu gadis biasa. Ia bukan seorang mahasiswa, karena sejak tamat SMA ia tidak pernah menduduki kampus manapun untuk mengejar predikat sarjana. Wajahnya juga biasa saja. Tidak pernah sekalipun ia ber-make up ataupun mencukur alis seperti gadis-gadis lainnya. Tak jarang ia dianggap kampungan oleh gadis seumurannya. Padahal ia dan kawan-kawannya tinggal di kampong yang sama.  
Namun, ada yang menarik tentangnya. Ia menghabiskan hari-hari di bawah sebuah  balee, mengenalkan huruf-huruf hijaiyah pada anak TK atau anak SD. Ikhlas. Tanpa bayaran bulanan seperti yang diterima para pegawai negara. Untuk hidup sehari-hari ia bertani membantu orang tuanya di sawah. Maklum, sebagai gadis yang datang dari kalangan bawah, ia harus bekerja juga untuk mengisi perut dengan makanan seadanya. Aku sering trenyuh melihatnya. Namun, tetap saja ketika petang menyapa, ia akan pulang ke rumah.
“Mau kemana, Nur?” tanyaku suatu hari saat ia tergesa-gesa pulang melalui pematang sawah. Ia  tergopoh-gopoh dengan kaki masih berlumuran lumpur sawah. Saat itu sawah di tempat kami sedang musim semula.
“Ke rumoh Aceh, Din. Aneuk miet sudah menungguku.” Aku tidak terkejut dengan jawabannya. Aku tahu betul sekarang waktunya ia bernagkat menuju balee.Namun, aku tetap saja heran. Saat itu ia sedang membantu ibu dan ayahnya seumula, namun demi mengajari anak-anak gampong yang tidak semuanya patuh dan penurut, ia rela meninggalkan kedua orang tuanya di sawah.
“Sawahmu gimana, Nur?”
Sekilas ia tersenyum. Mungkin ia tahu bahwa aku sedang memikirkan kedua orang tuanya yang kulihat sedang menarik tanaman padi untuk ditanami. Aku prihatin kepada kedua orang tuanya.
“Aku sudah minta izin, Din. Mak dan Abu bilang tidak apa-apa,” jawabnya singkat tanpa beban.
Aku terperangah. Benarkah masih ada orang seikhlas gadis itu dan kedua orang tuanya di dunia ini? Aku menelan jawabanku sendiri. Sementara gadis itu terus berlalu. Dari jauh bisa kulihat ia masih tergopoh-gopoh menaiki bukit dan mendayung sepeda hingga ia hilang di tikungan.
#          #          #
Sore ini secara tidak sengaja aku melintasi balee tempat Nur menghabiskan waktu petangnya. Kulihat gadis itu sedang asyik mengajari si kembar hasan dan husen. Sedangkan anak-anak yang lain kasak-kusuk dengan kesibukan masing-masing. Ada yang asyik bicara, ada yang menulis, ada yang diam dan ada juga yang tidur tanpa terganggu oleh suasana yang ribut. Aku tersenyum sendiri melihat gadis itu bertahan di tengah anak-anak gampong yang tidak terlalu rame itu. Meskipun wajahnya kadang-kadang memancarkan raut kesal, namun ia sembunyikan dengan senyum yang nampak dipaksakan. Kuputuskan menunggunya siap mengajar. Aku duduk di tangga balee sambil mendengarkan ia mengejakan huruf-huruf hijaiyah untuk anak-anak.
“Kamu tidak bosan, Nur?” tanyaku begitu gadis itu menuruni tangga.
“Kenapa harus bosan, Din?” tanyanya balik sembil tersenyum. Aku semakin heran, tidak pernah kutemukan sedikit pun beban di wajahnya. Ia selalu begitu.
“Kamu hanya membuang-buang waktu untuk anak-anak itu, Nur,”kataku datar. Aku kasihan melihatnya setiap hari menghabiskan waktu dengan anak-anak itu. “Kamu bisa melakukan hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari pada mengajar disini, Nur.” Tambahku lagi. Gadis itu hanya menatapku datar, kemudian melihat jauh ke arah anak-anak yang asyik bermain-main di bawah balai.
“Kau belum mengerti, Din. Aku menghabiskan waktuku disini bukan untuk uang,tapi untuk mereka.” Nur berkata datar.
“Untuk mereka?”
“Mereka lebih memerlukan aku.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin memberikan banyak untuk tanah ini. Aku mencintai tanah ini.”
“Maksudmu?”
“Caraku mencintai tanah ini adalah dengan melakukan apa yang aku bisa, Din. Aku ingin Aceh mengenangku sebagai orang yang mencintainya, meskipun kini banyak orang yang sedang berlomba-lomba menjatuhkannya.” Nur berkata pelan namun tegas.
Aku berdiri mematung penuh rasa kagum. Ah! Jika Nur mencintai Aceh dengan caranya. Bagaimana caraku mencintai Aceh lhee sagoe ini?
 

Sabtu, 09 November 2013

SEPERTINYA ITU MIMI (Kelas Menulis FLP)




            Tidak ada yang pernah tahu bagaimana nasib kita ke depan. Bahkan kita sendiri. Jalan hidup kita adalah misteri yang tidak pernah terpecahkan oleh kitab ramalan mana pun, sekalipun peramal itu didatangkan dari jaman Fir’aun sekalipun. Misteri hidup tidak akan terpecahkan, kecuali oleh Tuhan.
            Hingga suatu hari, sebuah misteri menyambangi sebuah rumah yang mulai disambangi beberapa anak muda dari negeri entahberantah.  Rumah tua yang ditinggalkan sekian lama tanpa sebab oleh penghuninya. Dari luar yang Nampak hanya selutut rerumputan yang tidak pernah terjamah kaki manusia. Tidak ada tanda-tanda tapak kaki disana. Tumbuhan rambat liar mulai menjalari dinding bagian depan menyentuh kaca-kaca jendela yang berdebu tebal. Jika kitake bagian atap, laba-laba bergelayutan, dan membentuk jarring-jaring abu-abu yang kusam. Benar-benar tak ada tanda-tanda kehidupan.  Anak-anak muda itu berjalan pelan-pelan, mencoba menarik gagang pintu yang hanya dikunci dengan sebuah gembok kecil yang mulai berkerat.


            “Yakin menggunakan tempat ini?”  May bertanya pelan. Matanya sibuk melihat ke sekitar rumah. Takut ada hewan-hewan melata yang tiba-tiba mendekat.
            “Kita tidak punya pilihan, batas sewa tempatnya sudah habis. Kas kita tidak cukup untuk sewa setahun lagi. “ Jawab Nuril sambil menarik gembok kecil itu dan langsung copot. Gembok itu sama sekali tidak terpaku dengan kuat.
            “Kenapa tidak tempat yang lain saja? “
            “Rumah ini gratis. Kalau tempat lain harus bayar. Kenapa? Kamu ragu?” Nuril menyelidik. May terdiam.
            “Entalah… aku merasa kurang nyaman saja dengan tempat ini.”
            “Yang penting kita masuk saja dulu.”
            “Masuk??”
            “Iya. Cepat!” Nuril menarik tangan May memasuki rumah kosong dan pengap itu.
            Begitu masuk, udara pengap disertai bau sampah langsung menyergap.  Bagaimana tidak? Tidak ada udara yang bisa masuk ke rumah itu selain melalui jendela depan dan celah-celah kayu pintu yang rapuh. Kamar-kamar layaknya petakan kubus dari triplek dan tidak berjendela.  Udara hanya bisa keluar masuk lewat pintu.  Cahaya pun hanya remang-remang masuk melalui atap yang diselip oleh seng putih kekuning-kuningan.
            “Nuril…” May tiba-tiba bergidik ngeri, suaranya bergetar. Matanya terbelalak menatap tulisan di dinding dapur. Tangannya menggenggam lengan Nuril erat, membuat Nuril terkejut. Dalam sekejap kedua pasang mata mereka tertuju pada satu lukisan di dinding.
            “Itu hanya sebuah lukisan biasa.”
            “Bukan itu. Coba kamu lihat mata gadis pada lukisan itu.”
            “Sebentar.” Nuril mendekati lukisan itu. Di lukisan itu, seorang gadis yang berpakaian krem kecokelatan duduk diatas ayunan besi sambil memeluk seekor kucing putih. Nuril mencoba focus menatap mata gadis itu.
            “Matanya biasa saja. Seperti mata kita.”
            “Tidak! Aku melihat matanya persis sama seperti mata kucing di pangkuannya.” May berkata dengan suara bergetar.
“Iya. Aku melihatnya.” Nuril bersuara pelan ketika ia menyadari pemandangan aneh dari lukisan itu. Matanya menatap mata kucing dan mata gadis dalam lukisan itu silih berganti. Baginya, mata mereka benar-benar sama. Tapi bagaimana bisa mata seorang gadis bisa persis sama dengan mata kucing dalam lukisan itu? Tapi siapa dia?
            “Mimi…” Nuril membaca tulisan di sudut kanan bagian bawah lukisan itu. “Mungkin itu nama gadis itu.”
            “Apakah ada manusia yang mempunyai mata kucing seperti itu?”Tanya May takut. Ia merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
            “Sudahlah. Itu hanya sebuah lukisan.” Nuril berusaha menetralkan kembali suasana. Sekarang matanya sibuk melihat ke sekeliling. Ia ingin melihat bagian mana yang bisa diubah dari rumah ini untuk dijadikan tempat baru organisasi yang sedang dipimpinnya.
            “May!!,” Nuril tiba-tiba berbalik berseru menatap pemandangan di depannya. Di lantai bagian dapur barang-barang berserakan. Baju-baju dan tas beserta isinya berhamburan di atas lantai. Sementara  itu suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Dan…
            Krek! Krek! Krek!
Terdengar bunyi seperti seseorang mengais-ngias sesuatu di bagian belakang pintu kamar mandi.  May dan Nuril saling berpandangan. Dengan tatapan mata, keduanya saling mengangguk dan sepakat untuk melakukan hal yang sama.
“Keluar!” teriak keduanya. Keduanya langsung mengambil langkah seribu dan bergegas meninggalkan rumah tak berpenghuni itu.
“Sepertinya itu Mimi…” kata Nuril pada May setelah lelah berlari jauh meninggalkan rumah tak berpenghuni itu. Misteri itu tidak pernah terpecahkan sampai sekarang. Benarkah itu Mimi? Hanya Tuhan yang tahu.

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Junaidah Munawarah alumnus IAIN Ar-Raniry Aceh, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP)Aceh dan penikmat tulisan apa saja.

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Blogger FLP

BTemplates.com

Blogroll