Pertama, aku
bingung apa yang ingin aku tuliskan tentang tsunami. Yang kutahu aku sama seperti
kawan-kawan di Aceh yang lain, kehilangan saudara ataupun sahabat karibnya.
Namun, ada kisah unik yang ingin kubagi dengan kawan-kawan sekalian. Ini
tentang seorang gadis pemberani yang baru kukenal dan lenyap begitu saja ketika
tsunami. Aku mengenal gadis itu hari raya idul fitri, tepat bebrapa minggu
sebelum tsunami.
Lebaran idul fitri
itu, aku merasa ada hal yang terjadi di luar kebiasaan, yaitu berjumpa dengan
family yang lama sudah tidak kami datangi karena konflik yang berkepanjangan. Lebaran
idul fitri itu, kami sekeluarga bertekad mengunjungi seorang misyik dan
keluarganya di daerah rawa. Aku tidak pernah tahu siapa nama misyik itu, namun
karena ia tinggal di daerah rawa, dekat Kota Sigli, kami biasa memanggilnya
misyik rawa.
Singkat kata,
berbekalkan doa dan mobil yang bak terbuka yang sering mogok, kami pergi ke
sana. Begitu sampai, aku bisa melihat bagaimana harunya pertemuan itu. Tangis
terisak pelepas rasa rindu serta pelukan hangat dan erat menjadi penyambut Abu
dan anak-anaknya. Misyik Rawa yang rambutnya sudah putih semua sampai berkali-kali
mengusap air mata. Beliau sempat bilang bahwa beliau sedih sekali sudah lama
tidak kami kunjungi. Pertemuan itu terus berlanjut dengan bercerita tentang
keluarga, konflik, sampai musim sawah di kampung. Entahlah, aku tidak seberapa
ingat, karena ketika itu pikiranku hanya satu, ingin ke pantai dan memungut
keong di sana. Berkali-kali tanganku mencoba menarik sisi belakang baju ummi
dan berbisik mengajak ke laut. Namun, ummiku hanya menoleh sekali sambil
menggeleng-geleng kepala sebagai bahasa isyarat “tidak boleh”.. Kuulangi lagi
sampai bebrapa kali, namun rekasi ummi tetap saja sama. Akhirnya aku bosan
sendiri dan hanya melalikan diri dengan turun dari rumah panggung itu dan
mengutip beberapa keong lusuh di atas pasir dekat tangga. Aku bisa melihat pantai melalui pohon-pohon
rawa yang berduri. Namun, langkahku tidak berani mendekat kesana. Aku hanya
duduk di atas bangku sambil mendengarkan suara ombak yang menggodaku untuk
menapakkan kaki di pasir panatai. Namun, aku masih tidak berani. Sampai akhirnya
seorang gadis datang nampak berjalan dari arah pantai dan masuk ke dalam rumah.
Ia mengenakan jins dan kaos oblong pendek, Dari perawakannya aku mengambil
kesimpulan ia adalah gadis yang tomboy dan pemberani. Sspertinya ia lebih tua
dariku.
“Nong, ajaklah si
adek itu mencari keong!” kata Cek Nah, anak abusyikku tiba-tiba. Dalam hati aku
langsung bersorak riang. Apalagi saat si
gadis itu langsung tersenyum dan mengiyakan. Aku langsung memakai sandal dan
berlari ke pantai. Sedangkan ia menatapku tertawa dan mengikutiku.
“Siang di pantai
panas,”katanya singkat.
“Tidak apa-apa,
kami sudah lama tidak ke pantai,”kataku jujur.
“Kenapa?”
“Takut, Kak.
Konfliknya parah daerah kami,” kataku. Kuceritakan bagaimana bom meledak di
jalan dekat rumahku. Mayat yang diseret di samping rumah. Isi otak manusia yang
terburai di kebun dekat pemakaman di kampungku.
“Abangku juga mati
karena ditembak. Dia mati di gunung itu,” tunjuknya ke sebuah gunung dekat
pantai sebelah barat. “Mayatnya dikebumikan di sana. Kami tidak bisa
melihatnya,” ceritanya.
“Lalu bagaimana
kakak tahu?”
“Mayat abangku
difoto. Nanti aku akan menampakkan fotonya padamu” katanya tanpa beban dan
singkat. Meskipun aku mesih kecil, namun aku bisa berkesimpulan bahwa ia sudah
terbiasa dengan kehidupan konflik yang keras. Saat itu kami terus berjalan
melewati pandan berduri khas rawa-rawa. Di antara pandan yang melebihi tingginya orang
dewasa, rumah-rumah keci dari kayu berdiri.
“Itu rumah
kakakku,” katanya lagi menunjukka
“Orang tua kakak?”
“Sudah meninggal.
Rumah tempat kami tinggal sekarang rumah orang tuaku”, jawabnya sambil senyum.
Aku hanya ber-o panjang.
“Kakak kelas
berapa?”
“Aku tidak sekolah
lagi. Aku keluar dari SD karena takut disuntik. Setelah itu konflik seakin
parah. Kami mengungsi, dan aku benar-benar tidak sekolah lagi.” Katanya santai.
Aku hanya menggeleng-geleng kepala.
Hari itu aku
benar-benar puas berjalan di panati sambil memungut bebarapa keong. Kami
berteduh ke pinggir pantai saat matahari benar-benar pas dia tas kepala.
“Aku pulang sebentar, ya? Tunggu disini,” katanya sambil
berlari pulang tiba-tiba. Aku menatapnya heran, namun mengangguk mengiyakan.
Sesaat ia kembali dengan beberapa lembaran foto di tangannya.
“Ini abangku,”
tangannya menunjuk gambar seorang pemuda berpakaian loreng dan memegang senjata
laras panjang. “Ini mayat abangku
setelah ditembak,” tangannya menunjuk sebuah foto yang lain. Aku begidik ngeri.
Aku bisa melihat sesosok mayat berlumuran darah. Wajah mayat itu memar dan
penuh sabetan. Gadis itu tertawa. Ia melanjutkan ceritanya bahwa ia ingin
berjuang seprti abangnya. Entahlah, aku tidak paham dengan jalan pikirannya. Sangat
berbeda denganku yang takut dengan suara tembakan. Mendengar orang bertengkar
saja lututku langsung lemas.
“Dek Dah! Ayo kita
pulang!” suara ummiku terdengar dari jauh, Kulihat ummi memanggil-manggilku di
depan rumah abusyik.
“Kak, aku pulang
dulu, ya” kataku kemudian.
“Kapan kau akan
kesini lagi?” tanyanya kemudian. Kami berdua lama perpandangan resah.
“Mungkin lebaran idul
adha nanti, kalau Ummi dan Abu memang pergi,”kataku. Iya mengangguk.
“Mau ikut kami,
Kak?” tanyaku basa-basi.
“Nanti ya, waktu
Cek Nah ke rumah kalian,” katanya tertawa.
Ia ikut
mengantarku ke mobil. Lama aku menatapnya. Sesaat terasa bahwa ia sangat akrab
dan berkesan bagiku. Ia mempunyai jalan hidup yang unik dan keras. Namun, ia
juga gadis yang sangat polos. Aku pun meninggalkannya yang berdiri di pinggir
jalan sambil melambaikan tangan.
Beberapa minggu
kemudian, tsunami terjadi. Kudengar kabar
bahwa semua keluargaku di Rawa hilang dalam gelombang. Kutanya pada ummi
tentang gadis itu. Ummi bilang ia dan keluarganya juga lenyap tak berjejak. Dalam sekejap pikiranku terbayang bagaimana Rawa dan sekitarnya dilahap air bah. Aku bayangkan bagaimana ia berjuang dalam gelombang maut itu. Meski baru pertama bertemu,
namun aku merasa kehilangan sekali. Aku tersadar bahwa lambaian tangannya
adalah yang pertama dan terakhir untukku. Entah dimana jasadnya bersemayam, tidak ada yang tahu. Namun, tidak peduli dimanapun ia, semoga Allah ampuni dosa-dosanya dan
lapangkan kuburnya. Ia kawan baruku…
setelah tsunami |