Aku mengenal gadis itu dua minggu
lalu. Tidak ada hal yang sitimewa darinya. Gadis itu gadis biasa. Ia bukan
seorang mahasiswa, karena sejak tamat SMA ia tidak pernah menduduki kampus
manapun untuk mengejar predikat sarjana. Wajahnya juga biasa saja. Tidak pernah
sekalipun ia ber-make up ataupun mencukur alis seperti gadis-gadis lainnya. Tak
jarang ia dianggap kampungan oleh gadis seumurannya. Padahal ia dan
kawan-kawannya tinggal di kampong yang sama.
Namun, ada yang
menarik tentangnya. Ia menghabiskan hari-hari di bawah sebuah balee, mengenalkan huruf-huruf hijaiyah
pada anak TK atau anak SD. Ikhlas. Tanpa bayaran bulanan seperti yang diterima
para pegawai negara. Untuk hidup sehari-hari ia bertani membantu orang tuanya
di sawah. Maklum, sebagai gadis yang datang dari kalangan bawah, ia harus
bekerja juga untuk mengisi perut dengan makanan seadanya. Aku sering trenyuh
melihatnya. Namun, tetap saja ketika petang menyapa, ia akan pulang ke rumah.
“Mau kemana,
Nur?” tanyaku suatu hari saat ia tergesa-gesa pulang melalui pematang sawah. Ia
tergopoh-gopoh dengan kaki masih
berlumuran lumpur sawah. Saat itu sawah di tempat kami sedang musim semula.
“Ke rumoh Aceh,
Din. Aneuk miet sudah menungguku.” Aku tidak terkejut dengan jawabannya.
Aku tahu betul sekarang waktunya ia bernagkat menuju balee.Namun, aku
tetap saja heran. Saat itu ia sedang membantu ibu dan ayahnya seumula, namun
demi mengajari anak-anak gampong yang tidak semuanya patuh dan penurut, ia rela
meninggalkan kedua orang tuanya di sawah.
“Sawahmu
gimana, Nur?”
Sekilas ia
tersenyum. Mungkin ia tahu bahwa aku sedang memikirkan kedua orang tuanya yang
kulihat sedang menarik tanaman padi untuk ditanami. Aku prihatin kepada kedua
orang tuanya.
“Aku sudah
minta izin, Din. Mak dan Abu bilang tidak apa-apa,” jawabnya singkat tanpa
beban.
Aku
terperangah. Benarkah masih ada orang seikhlas gadis itu dan kedua orang tuanya
di dunia ini? Aku menelan jawabanku sendiri. Sementara gadis itu terus berlalu.
Dari jauh bisa kulihat ia masih tergopoh-gopoh menaiki bukit dan mendayung
sepeda hingga ia hilang di tikungan.
# # #
Sore ini secara
tidak sengaja aku melintasi balee tempat Nur menghabiskan waktu
petangnya. Kulihat gadis itu sedang asyik mengajari si kembar hasan dan husen.
Sedangkan anak-anak yang lain kasak-kusuk dengan kesibukan masing-masing. Ada
yang asyik bicara, ada yang menulis, ada yang diam dan ada juga yang tidur
tanpa terganggu oleh suasana yang ribut. Aku tersenyum sendiri melihat gadis
itu bertahan di tengah anak-anak gampong yang tidak terlalu rame itu. Meskipun
wajahnya kadang-kadang memancarkan raut kesal, namun ia sembunyikan dengan
senyum yang nampak dipaksakan. Kuputuskan menunggunya siap mengajar. Aku duduk
di tangga balee sambil mendengarkan ia mengejakan huruf-huruf hijaiyah
untuk anak-anak.
“Kamu tidak
bosan, Nur?” tanyaku begitu gadis itu menuruni tangga.
“Kenapa harus
bosan, Din?” tanyanya balik sembil tersenyum. Aku semakin heran, tidak pernah
kutemukan sedikit pun beban di wajahnya. Ia selalu begitu.
“Kamu hanya
membuang-buang waktu untuk anak-anak itu, Nur,”kataku datar. Aku kasihan
melihatnya setiap hari menghabiskan waktu dengan anak-anak itu. “Kamu bisa
melakukan hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari pada mengajar disini,
Nur.” Tambahku lagi. Gadis itu hanya menatapku datar, kemudian melihat jauh ke
arah anak-anak yang asyik bermain-main di bawah balai.
“Kau belum
mengerti, Din. Aku menghabiskan waktuku disini bukan untuk uang,tapi untuk
mereka.” Nur berkata datar.
“Untuk mereka?”
“Mereka lebih
memerlukan aku.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin
memberikan banyak untuk tanah ini. Aku mencintai tanah ini.”
“Maksudmu?”
“Caraku
mencintai tanah ini adalah dengan melakukan apa yang aku bisa, Din. Aku ingin
Aceh mengenangku sebagai orang yang mencintainya, meskipun kini banyak orang
yang sedang berlomba-lomba menjatuhkannya.” Nur berkata pelan namun tegas.