About

Sabtu, 16 November 2013

CINTAMU UNTUK ACEH





Aku mengenal gadis itu dua minggu lalu. Tidak ada hal yang sitimewa darinya. Gadis itu gadis biasa. Ia bukan seorang mahasiswa, karena sejak tamat SMA ia tidak pernah menduduki kampus manapun untuk mengejar predikat sarjana. Wajahnya juga biasa saja. Tidak pernah sekalipun ia ber-make up ataupun mencukur alis seperti gadis-gadis lainnya. Tak jarang ia dianggap kampungan oleh gadis seumurannya. Padahal ia dan kawan-kawannya tinggal di kampong yang sama.  
Namun, ada yang menarik tentangnya. Ia menghabiskan hari-hari di bawah sebuah  balee, mengenalkan huruf-huruf hijaiyah pada anak TK atau anak SD. Ikhlas. Tanpa bayaran bulanan seperti yang diterima para pegawai negara. Untuk hidup sehari-hari ia bertani membantu orang tuanya di sawah. Maklum, sebagai gadis yang datang dari kalangan bawah, ia harus bekerja juga untuk mengisi perut dengan makanan seadanya. Aku sering trenyuh melihatnya. Namun, tetap saja ketika petang menyapa, ia akan pulang ke rumah.
“Mau kemana, Nur?” tanyaku suatu hari saat ia tergesa-gesa pulang melalui pematang sawah. Ia  tergopoh-gopoh dengan kaki masih berlumuran lumpur sawah. Saat itu sawah di tempat kami sedang musim semula.
“Ke rumoh Aceh, Din. Aneuk miet sudah menungguku.” Aku tidak terkejut dengan jawabannya. Aku tahu betul sekarang waktunya ia bernagkat menuju balee.Namun, aku tetap saja heran. Saat itu ia sedang membantu ibu dan ayahnya seumula, namun demi mengajari anak-anak gampong yang tidak semuanya patuh dan penurut, ia rela meninggalkan kedua orang tuanya di sawah.
“Sawahmu gimana, Nur?”
Sekilas ia tersenyum. Mungkin ia tahu bahwa aku sedang memikirkan kedua orang tuanya yang kulihat sedang menarik tanaman padi untuk ditanami. Aku prihatin kepada kedua orang tuanya.
“Aku sudah minta izin, Din. Mak dan Abu bilang tidak apa-apa,” jawabnya singkat tanpa beban.
Aku terperangah. Benarkah masih ada orang seikhlas gadis itu dan kedua orang tuanya di dunia ini? Aku menelan jawabanku sendiri. Sementara gadis itu terus berlalu. Dari jauh bisa kulihat ia masih tergopoh-gopoh menaiki bukit dan mendayung sepeda hingga ia hilang di tikungan.
#          #          #
Sore ini secara tidak sengaja aku melintasi balee tempat Nur menghabiskan waktu petangnya. Kulihat gadis itu sedang asyik mengajari si kembar hasan dan husen. Sedangkan anak-anak yang lain kasak-kusuk dengan kesibukan masing-masing. Ada yang asyik bicara, ada yang menulis, ada yang diam dan ada juga yang tidur tanpa terganggu oleh suasana yang ribut. Aku tersenyum sendiri melihat gadis itu bertahan di tengah anak-anak gampong yang tidak terlalu rame itu. Meskipun wajahnya kadang-kadang memancarkan raut kesal, namun ia sembunyikan dengan senyum yang nampak dipaksakan. Kuputuskan menunggunya siap mengajar. Aku duduk di tangga balee sambil mendengarkan ia mengejakan huruf-huruf hijaiyah untuk anak-anak.
“Kamu tidak bosan, Nur?” tanyaku begitu gadis itu menuruni tangga.
“Kenapa harus bosan, Din?” tanyanya balik sembil tersenyum. Aku semakin heran, tidak pernah kutemukan sedikit pun beban di wajahnya. Ia selalu begitu.
“Kamu hanya membuang-buang waktu untuk anak-anak itu, Nur,”kataku datar. Aku kasihan melihatnya setiap hari menghabiskan waktu dengan anak-anak itu. “Kamu bisa melakukan hal-hal lain yang lebih menguntungkan dari pada mengajar disini, Nur.” Tambahku lagi. Gadis itu hanya menatapku datar, kemudian melihat jauh ke arah anak-anak yang asyik bermain-main di bawah balai.
“Kau belum mengerti, Din. Aku menghabiskan waktuku disini bukan untuk uang,tapi untuk mereka.” Nur berkata datar.
“Untuk mereka?”
“Mereka lebih memerlukan aku.”
“Maksudmu?”
“Aku ingin memberikan banyak untuk tanah ini. Aku mencintai tanah ini.”
“Maksudmu?”
“Caraku mencintai tanah ini adalah dengan melakukan apa yang aku bisa, Din. Aku ingin Aceh mengenangku sebagai orang yang mencintainya, meskipun kini banyak orang yang sedang berlomba-lomba menjatuhkannya.” Nur berkata pelan namun tegas.
Aku berdiri mematung penuh rasa kagum. Ah! Jika Nur mencintai Aceh dengan caranya. Bagaimana caraku mencintai Aceh lhee sagoe ini?
 

Sabtu, 09 November 2013

SEPERTINYA ITU MIMI (Kelas Menulis FLP)




            Tidak ada yang pernah tahu bagaimana nasib kita ke depan. Bahkan kita sendiri. Jalan hidup kita adalah misteri yang tidak pernah terpecahkan oleh kitab ramalan mana pun, sekalipun peramal itu didatangkan dari jaman Fir’aun sekalipun. Misteri hidup tidak akan terpecahkan, kecuali oleh Tuhan.
            Hingga suatu hari, sebuah misteri menyambangi sebuah rumah yang mulai disambangi beberapa anak muda dari negeri entahberantah.  Rumah tua yang ditinggalkan sekian lama tanpa sebab oleh penghuninya. Dari luar yang Nampak hanya selutut rerumputan yang tidak pernah terjamah kaki manusia. Tidak ada tanda-tanda tapak kaki disana. Tumbuhan rambat liar mulai menjalari dinding bagian depan menyentuh kaca-kaca jendela yang berdebu tebal. Jika kitake bagian atap, laba-laba bergelayutan, dan membentuk jarring-jaring abu-abu yang kusam. Benar-benar tak ada tanda-tanda kehidupan.  Anak-anak muda itu berjalan pelan-pelan, mencoba menarik gagang pintu yang hanya dikunci dengan sebuah gembok kecil yang mulai berkerat.


            “Yakin menggunakan tempat ini?”  May bertanya pelan. Matanya sibuk melihat ke sekitar rumah. Takut ada hewan-hewan melata yang tiba-tiba mendekat.
            “Kita tidak punya pilihan, batas sewa tempatnya sudah habis. Kas kita tidak cukup untuk sewa setahun lagi. “ Jawab Nuril sambil menarik gembok kecil itu dan langsung copot. Gembok itu sama sekali tidak terpaku dengan kuat.
            “Kenapa tidak tempat yang lain saja? “
            “Rumah ini gratis. Kalau tempat lain harus bayar. Kenapa? Kamu ragu?” Nuril menyelidik. May terdiam.
            “Entalah… aku merasa kurang nyaman saja dengan tempat ini.”
            “Yang penting kita masuk saja dulu.”
            “Masuk??”
            “Iya. Cepat!” Nuril menarik tangan May memasuki rumah kosong dan pengap itu.
            Begitu masuk, udara pengap disertai bau sampah langsung menyergap.  Bagaimana tidak? Tidak ada udara yang bisa masuk ke rumah itu selain melalui jendela depan dan celah-celah kayu pintu yang rapuh. Kamar-kamar layaknya petakan kubus dari triplek dan tidak berjendela.  Udara hanya bisa keluar masuk lewat pintu.  Cahaya pun hanya remang-remang masuk melalui atap yang diselip oleh seng putih kekuning-kuningan.
            “Nuril…” May tiba-tiba bergidik ngeri, suaranya bergetar. Matanya terbelalak menatap tulisan di dinding dapur. Tangannya menggenggam lengan Nuril erat, membuat Nuril terkejut. Dalam sekejap kedua pasang mata mereka tertuju pada satu lukisan di dinding.
            “Itu hanya sebuah lukisan biasa.”
            “Bukan itu. Coba kamu lihat mata gadis pada lukisan itu.”
            “Sebentar.” Nuril mendekati lukisan itu. Di lukisan itu, seorang gadis yang berpakaian krem kecokelatan duduk diatas ayunan besi sambil memeluk seekor kucing putih. Nuril mencoba focus menatap mata gadis itu.
            “Matanya biasa saja. Seperti mata kita.”
            “Tidak! Aku melihat matanya persis sama seperti mata kucing di pangkuannya.” May berkata dengan suara bergetar.
“Iya. Aku melihatnya.” Nuril bersuara pelan ketika ia menyadari pemandangan aneh dari lukisan itu. Matanya menatap mata kucing dan mata gadis dalam lukisan itu silih berganti. Baginya, mata mereka benar-benar sama. Tapi bagaimana bisa mata seorang gadis bisa persis sama dengan mata kucing dalam lukisan itu? Tapi siapa dia?
            “Mimi…” Nuril membaca tulisan di sudut kanan bagian bawah lukisan itu. “Mungkin itu nama gadis itu.”
            “Apakah ada manusia yang mempunyai mata kucing seperti itu?”Tanya May takut. Ia merasakan keringat dingin mulai mengalir di pelipisnya.
            “Sudahlah. Itu hanya sebuah lukisan.” Nuril berusaha menetralkan kembali suasana. Sekarang matanya sibuk melihat ke sekeliling. Ia ingin melihat bagian mana yang bisa diubah dari rumah ini untuk dijadikan tempat baru organisasi yang sedang dipimpinnya.
            “May!!,” Nuril tiba-tiba berbalik berseru menatap pemandangan di depannya. Di lantai bagian dapur barang-barang berserakan. Baju-baju dan tas beserta isinya berhamburan di atas lantai. Sementara  itu suara gemericik air terdengar dari kamar mandi. Dan…
            Krek! Krek! Krek!
Terdengar bunyi seperti seseorang mengais-ngias sesuatu di bagian belakang pintu kamar mandi.  May dan Nuril saling berpandangan. Dengan tatapan mata, keduanya saling mengangguk dan sepakat untuk melakukan hal yang sama.
“Keluar!” teriak keduanya. Keduanya langsung mengambil langkah seribu dan bergegas meninggalkan rumah tak berpenghuni itu.
“Sepertinya itu Mimi…” kata Nuril pada May setelah lelah berlari jauh meninggalkan rumah tak berpenghuni itu. Misteri itu tidak pernah terpecahkan sampai sekarang. Benarkah itu Mimi? Hanya Tuhan yang tahu.

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Junaidah Munawarah alumnus IAIN Ar-Raniry Aceh, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP)Aceh dan penikmat tulisan apa saja.

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Blogger FLP

BTemplates.com

Blogroll