“Happy
birthday ya!” tiba dua kepala menyembul dari balik pintu. Mereka Desi dan Novi,
kakak beradik yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri di kontrakan kami. Meski
dengan mata agak merem karena baru saja tidur aku tertawa sambil mengucapkan
terimakasih. Saat mereka menutup pintu, kubuka jam di hp; 12.05. Akhirnya Aku
sudah dua puluh tiga tahun, hatiku berkata datar. Lalu kembali menenggelamkan
diri di balik selimut. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku ingin
berfantasi dengan kenangan demi kenangan selama setahun.
Aku
memulai angka 22 kemarin di rumah sakit Fakinah. Bukan aku yang sakit, tapi
ummi. Jam 00.00 aku masuk rumah sakit dengan sesak di dada yang kutahan. Diam,
itulah satu-satunya caraku agar tangisku tidak membuncah. Berkali-kali
kubisikkan dalam hatiku, “Ini ujian! Allah sedang menggugurkan dosa kami dengan
ujian ini,” itu bisikku pada diriku sendiri. Saat itu aku sendiri. Semua
keluargaku yang lain memang sedang tidak bersamaku saat itu. Aku dan ummi sudah
beberapa hari di rumah sepupuku untuk memudahkan ummi mengontrol ke dokter
spesialis. Aku hanya dengan ummi, berdua saja. Singkat kata, aku duduk di kursi
memegang tangan ummi yang terpasang jarum infus dengan tatapan nanar. Ummi
diam, beliau lemah dan mata beliau terpejam. Aku tahu betul ummi saat itu
sedang menahan pening karena dunia di sekitarnya seolah berputar, sesuatu yang
sangat ditakuti oleh pengidap vertigo.
Saat itu, hanya
aku yang bicara. Bicara dengan pikiranku sendiri. Mengucapkan sepatah kata
ulang tahun untuk kurayakan sendiri. Dalam diam yang kupaksakan. Karena
tenggorokanku tercekat oleh amukan. Sebuah sms mengejutkanku. Ucapan ulang
tahun dari seorang kawan dekatku. Ces! Satu titik bening itu jatuh. Tidak ada
suara. Tetap dalam diam. Hanya tanganku yang semakin erat memegang tangan ummi,
mencari sedikit kekuatan. Dalam ruang sempit itu, hanya kami saja, aku dan ummi.
Saat itu, aku tidak menginginkan sebongkah kue tar yang dihisi lilin. Tidak!
Aku hanya ingin segera keluar dari ruang sepi itu bersama kesembuhan ummi. Itu
saja!
Subuhnya abu
sampai dari Sigli, diikuti oleh saudara dan family yang datang silih berganti. Kedatangan
mereka cukup untuk menbungkam sunyi dan takut yang mendekapku semalam. Amukan
semalam tidak pernah buncah. Ia perpendam sudah. Ia berganti dengan segenap
haru saat berkumpul dengan saudara. Membuatku mengenal arti syukur karena ternyata
di dunia aku tidak sendiri.
Namun,
musibah tidak membuatku selamanya terpuruk. Ada berbagai hal yang mulai kucoba
tata sendiri. Aku mulai mencoba menyelesaikan semua permasalahanku sendiri.
Jika dulu aku sering mengadu dan merengek kepada orang tuaku saat punya
masalah, kini aku lebih memilih mencari solusinya dengan usahaku sendiri. Sering
aku menelpon untuk mengabarkan berita bahagia seperti sripsiku yang hamper usai,
KPM yang lancar dan kegiatan-kegiatan yang kulakukan bersama kawan-kawan, sidang
skripsi dan yudisium. Berkali-kali aku meminta doa ketika aku merasakan
ketakutan dan keraguan. Apalagi ketika menjelang sidang, berkali-kali aku menelpon
meminta doa dari ummi dan abu. Biasanya, aku sedikit tenang setelah itu.
Setengah
bebanku terasa lepas saat aku yudisium. Dalam audit, berkali-kali air mataku
jatuh. Wajah-wajah orang yang selalu mendukungku muncul satu persatu. Ummi,
Abu, kak Meza, Abangku (Safrizal), Dek Fina, Dek Sulaiha dan Jamara (adikku),
orang yang terdekat denganku dan sahabat-sahabatku yang tidak bisa kusebut satu
persatu. Kusms abu dan ummi, kubilang bahwa aku teringat mereka dan terimakasih
pada mereka. Tanpa doa mereka mungkin aku bukan siapa-siapa. Ummiku menelpon
dan kami berbicara beberapa saat untuk melepas rindu.
Bulan-bulan
selanjutnya aku lalui dengan jalan-jalan ke Bali, mengenal orang-orang hebat di
FLP, dan Wisuda. Yang paling berkesan itu saat wisuda. Hari sebelum itu aku
sering menetes membayangkan aku tidak akan bisa merayakan wisudaku dengan ummi.
Ya, ummiku saat itu belum betul-betul sembuh. Terakhir ummi bilang “bek weuh
hate” mungkin ummi tidak bisa datang nanti. Aku jawab “get”meski
hatiku mengatakan “Aku ingin ummi datang.” Kukuatkan hatiku mempersiapkan hari
wisudaku sendiri. Kucoba tegarkan jiwaku saat kudengar sahabat dan
kawan-kawanku akan merayakan wisuda mereka dengan keluarga terdekat. Aku
menanggapi semuanya dengan tersenyum dan diam.
Pagi
wisuda, aku berangkat dari rumah kak Meza di Darussalam. Diantar adikku, aku
berkumpul dengan kawan-kawan di lapangan Tugu. Aneka warna kebaya dan gaun berpadu
padan disana. Yang laki-laki berjas rapi, yang perempuan bergaun dan ber-make
up cantik. Kuhibur diri dengan foto-foto dan bercanda. Sampai akhirnya aku ikut
pawai arak-arakan berjalan kaki kearah
kampus bersama yang lain. Di tengah jalan tiba-tiba handphoneku bergetar, ummi
menelponku.
“Tolong
lihat sebelah kanan, ummi disini. Sekarang cepat ambil cincin sama Dek Fina ya!”
kata ummi di seberang. Aku mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan. Kulihat
ummi sedang melambaikan tangan. Sedangkan Dek Fina berlari ke arahku memberikan
cincin padaku. Aku tersenyum dan trenyuh. Ah ummiku… bagaimana aku akan
ingat soal cincin dan lain-lain jika Ummi dan Abu tidak hadir?
Alhamdulillah, acara wisudaku berjalan mulus. Begitu siap, aku langsung keluar
mancari ummi di antara lautan manusia. Kutelpon ummi. Kata ummi, beliau di
tenda sebelah kiri. Aku langsung berlari ke sana. Kusalam dan kupeluk ummi dan
adik-adikku dengan tangis. Tidak kuhiraukan make-upku yang bisa saja luntur.
Disana kami hanya berpelukan dala tangis. Bahagiaku tidak bisa kuutarakan.
Biarpun setelah itu kami hanya berfoto-foto ria di bawah pohon tanpa ke studio
seperti yang lain, aku bahagia sekali. Semua terasa lengkap dengan kehadiran
ummi dan abu, biarpun Sulaiha adikku dan Abangku Safrizal tidak bisa datang
karena harus jaga rumah sekolah di Sigli. Ya, biarpun kami hanya makan-makan di rumah
kak Meza dan setelah dhuhur Ummi dan Abu plus adik kecilku Jamara harus pulang
kembali ke Sigli.
Setelah
wisuda, kegiatanku bukan semakin berkurang. Malah semakin bertambah. Mengajar
di beberapa tempat, posisi sebagai sekretaris FLP Wilayah Aceh membuatku
belajar banyak hal. Ditambah lagi, aku menyempatkan diri untuk bersahabat
dengan salah seorang kawan di luar negeri via skype dan semakin tahu bagaimana
kehidupan orang-orang di luar negeriku. Aku harus banyak bersabar di lingkungan
baru, dimana tidak semua orang bisa memahamiku seperti keluargaku memahamiku. Aku
juga harus belajar kebijaksanaan dari orang-orang yang selalu menginspirasiku.
Aku tidak selamanya benar dan kuat. Tidak. Aku pernah terbawa emosi sampai
salah bicara dan menyakiti banyak orang. Aku juga sering terjatuh dan berusaha
unutk bangkit berkali-kali. Yah, ini namanya hidup kan? Tugasku, adalah memperbaiki diri.
Mengenai
target, terlalu banyak yang baik yang
ingin kulakukan ke depan. Sebuah cita-cita besar untuk membahagiakan orang
tua dan keluargaku, sebuah doa yang tidak putus untuk kesembuhan ummiku, serta ratusan
target harian yang ingin kulakukan dengan baik. Aku ingin membenahi diri
menjadi jiwa yang lebih baik. Mudah-mudahan. Amin.
Bertambah usia,
berarti berkurang sisa umur dan berkurang kesempatan. Namun, bukan berarti aku
harus menyerah bukan? Ada begitu banyak cinta di sekitarku yang ingin kugapai. Ada
begitu banyak pula cinta yang masih ingin kutaburkan. Terimakasih untuk ummi
dan abu, keluarga, sahabat, dan kawan-kawan semuanya untuk cinta dan doa kalian
selama ini. Always love me as I wanna love you forever… :)
Kita tidak perlu kue tar atau pun lilin itu, sayang...
Kita hanya perlu segenggam semangat yang tidak pernah redup.
Bukan nyanyian ultah itu yang kita lantunkan,
namun, lantunan doa agar kita tetap berada dalam ridha dan lindunganNya...
Agar tangan kita tetap berangkulan, dan saling mengusap air mata saat kita tertatih...
Hanya itu saja.
*special thanks
untuk isni wardaton atas catatan
cintanya untukku pagi ini.