About

Sabtu, 03 Mei 2014

Untuk Junaidah di Angka 25 Nanti.

Masa Depan, 27 Februari 2016

Apa kabar hari ini Junaidah?
Masihkah engkau menjadi pejuang seperti yang termaktub dalam namamu? atau seperti sapaan Pak Khairol MAN 3 yang selalu memanggilm "small soldier" dan sesaat tawamu langsung lebar? Ah, kuharap engkau masih berjuang untuk terus menghidupkan cinta dalam patahan-patahan kata, seperti yang engkau tuliskan dulu di catatanmu.

Junaidah...
Saat usiamu dua puluh lima tahun, kuharap target ruhiyah yang telah engkau goreskan pada diarymu tujuh tahun yang lalu telah engkau capai. Engkau telah tuntas menuliskan novel cinta untukmu sendiri, menamatkan bacaan buku-buku bacaan untuk memperkaya hati. Sudahkah? Berapa halaman buku riyadhusshalihin, Tafisr Ibnu Katsir, dan Sirah Nabawiyah yang sudah engkau baca? Sudah tamatkan mereka? Atau mereka masih terpajang di sebuah rak di toko antah berantah dan tidak pernah kau jamah? Apa kabar hafalanmu? bertambahkah? Atau engkau masih tertatih-tatih pada juz amma dan permulaan hadist arbain?

Oya Junaidah.
Kuharap saat saat umur dua puluh lima tahun ini, engkau telah tahu bagaimana cara menata diri. Sebab aku tahu betul saat umur tiga tahun yang lalu, engkau masih seorang gadis yang labil. Sering marah-marah dan sering kehilangan kendali, terutama saat engkau bicara. Malah, engkau pernah menjadi gadis yang langsung menvonis salah orang-orang di sekelilingmu dan setelah itu engkau menyesal setengah mati.

Sekarang, bagaimana kabar pendidikanmu junaidah? Apakah engkau telah menjadi mahasiswa Magister dan akan segera tamat tepat dua tahun seperti yang engkau cita-citakan?  Apakah engkau bisa menjadi inspirasi buat adik-adikmu? Mudah-mudahan saja engkau akan menjadi wanita yang selalu berjuang dan tidak pernah menyerah dalam mewujudkan cita-citamu.

Junaidah,
Apa kabar ummi dan abu-mu? Semoga mereka sehat-sehat saja dan semakin bahagia. Semoga ummimu telah sembuh dari sakitnya dan abumu telah mewujudkan "cita-cita" yang beliau dambakan. Mereka adalah sepasang manusia luar biasa yang telah mengorbankan segalanya untukmu, mulai dari kecil bahkan sampai sekarang. Jasa-jjasa mereka tidak akan bisa kau balas sampai kapanpun. Untuk itu, tetaplah selalu berbuat baik dan mendoakan mereka.

Junaidah, saat engkau berumur 25 tahun ini, kuharap engkau telah menemukan sepotong hati tempat berbagi. Kuharap cintamu telah berlabuh pada yang telah digoreskan ilahi. Dimana engkau hidup saling menjaga dan menasehati. Persis seperti yang engkau kisahkan pada halaman 79 dan 154 halaman diarymu.

Junaidah, apapun yang engkau miliki pada umur dua puluh lima ini. Tetaplah jadi Junaidah Munawarah yang selalu berjuang untuk menjadi lebih baik. Selalu-lah menjadi "tentara bercahaya", seperti yang tersirat dalam namamu. Tetaplah hidup saling berangkulan dan saling membantu dalam keluargamu. Oya, jangan lupa untuk terus memperhatikan si kecil jamara Khalisiana yang mungkin kini telah kelas empat es de. Ajaklah Jamara untuk selalu tertawa riang, dan bantulah pendidikannya. 

Junaidah, sekian dulu surat dariku yang berusia 23 tahun. Semoga Allah selalu mendekapmu dalam ridha dan cinta-Nya kapan saja dan dimana saja kau berada. Amiin.

Wassalam,
darimu,

Junaidah 23 tahun.
my siters and me, where is my brother, Bang Rijal?

jamara and me

Jamara di tengah
Sulaiha dan Zulfina (my sisters)



Selasa, 29 April 2014

SEMESTA MUSEUM ACEH

        Tidak kenal, makanya tidak sayang. Ketika kita telah mengenal jejak sejarahnya, maka kita akan semakin cinta dan ingin terus mempertahankannya dari kepunahan. Inilah museum Aceh dan segala pernak-pernik sejarahnya.
Pagi itu, aku dan kawan-kawan mengisi waktu senggang dengan mengunjungi objek wisata di Banda aceh. Tentu saja, kami memilih tempat yang sesuai dengan isi dompet  kami yang masih berstatus mahasiswa. Dengan suka cita dan rasa ingin tahu yang mengangkasa, kami mengendarai motor menuju pusat kota.
Saat menapaki kaki di halaman museum Aceh, aku seperti sedang membuka sebuah lembaran ensiklopedi sejarah versi nyata. Berbagai benda kuno yang mengandung nilai seni dan sejarah yang panjang tersimpan di sana. Dalam sekejap,  aku seolah terlempar ke lorong waktu yang sangat jauh dari masaku, berbaur dengan orang-orang yang hidup pada zaman yang seusia dengan benda-benda itu. Bayangan Aceh masa lampau terasa begitu nyata ketika langkahku semakin dengan bangunan tersebut. 
Bentuk fisik bangunan museum Aceh adalah sebuah rumah traditional Aceh yang megah. Hampir keseluruhan badan rumah ini terbuat dari kayu keras yang dicat berwarna cokelat tua (merbau). Sejumlah referensi menyebutkan bahwa rumah ini dibangun oleh gubernur Belanda bernama Van Swart pada tahun 1914. Layaknya rumah traditional Aceh pada umumnya, bangunan ini juga menghadap kiblat (Mekkah) dan kaya akan ornamen pada atap dan dinding. Ukiran berbentuk spiral, simetris, tumbuh-tumbuhan, kali-kali, petak-petak, bulan dan bintang pada bagian bingkai jendela dan dinding membuat bangunan ini begitu khas. Namun, berbeda dari rumah Aceh penduduk pada umumnya yang dibangun atas 16, 20 atau 24 tiang, bangunan museum ini justru dibangun lebih besar dimana jumlah keseluruhan tiangnya mencapai 40 tiang yang kokoh. Besar sekali bukan?  
Museum Aceh
Benda pertama yang paling menarik perhatianku adalah sebuah lonceng besar yang dinamai “Cakradonya.” Mungkin karena ukurannya yang sangat besar yang melebihi tinggi orang dewasa dan diameternya lebih dari satu meter, lonceng ini diberi nama seperti ini. Konon, lonceng besar ini merupakan hadiah dari seorang Raja China yang diantar oleh Laksamana Chengho pada tahun 1414. Ini adalah bukti betapa luasnya wilayah persahabatan kerajaaan Aceh pada masa lampau yang mampu menembus batas-batas benua. 
Jika kita lihat lebih dekat, maka kita akan menemukan tulisan China yang terukir pada badan lonceng. Menurut sebuah referensi, tulisan tersebut adalah “Sing Fang Niat Toeng Juutb Kat Tjo.”Aku sendiri tidak tahu apa artinya. Namun, ukiran tuanya yang nampak berkarat membuktikan bahwa lonceng tersebut sangat tua dan benar-benar patut dijaga keberadaan dan bentuknya. 
lonceng cakradonya
Masuk lebih dalam ke area museum, kita akan menjumpai meriam-meriam berukuran sedang yang di tata rapi di bawah Rumoh Aceh. Menurut para penjaga, meriam ini merupakan sisa penjajahan Belanda di Aceh. Selain meriam-meriam tersebut, berbagai peralatan kerja masyarakat Aceh tempo dulu juga banyak disimpan di sini. Misalnya alat pengangkut barang (derek) dari kayu, lumbung padi, dan jeungki (penumbuk padi) yang juga terbuat dari kayu. Tentu saja alat-alat ini sangat jarang kujumpai dalam kehidupan sehari-hari, terutama di daerah Banda Aceh yang hampir semuanya telah terjamah canggihnya teknologi masa kini. Dalam sekejap pikiranku melayang ke masa-masa dimana masyarakat saling bergotong royong mengangkut padi dengan derek kayu dan menumbuk padi bersama menggunakan jeungki yang sangat sederhana. Sungguh berbeda sekali dengan peralatan canggih yang dimiliki masyarakat masa kini dimana semuanya serba canggih dan cepat.


Kamar Pengantin
Puas memanjakan mata di bawah rumah Aceh, kami menaiki tangga dan memasuki bagian dalam museum. Begitu masuk, kami seolah bisa merasakan bagaimana kentalnya percampuran budaya Aceh dengan nilai-nilai Islam zaman dulu. Di Seuramoe keu (serambi depan), beberapa rencong yang terpajang di dinding. Rencong ini merupakan senjata traditional Aceh yang berbuat dari logam. Gagang dan sarungnya secara umum terbuat dari gading, kayu atau tanduk kerbau. Menurut sebuah sumber, bentuk rencong ini diambil dari bahasa Arab “Bismillaahirrahmaanirrahiim.” Rencong Aceh kini sering dijumpai dalam bentuk besi dan kuningan serta dijadikan sourvenir khas dari Aceh
Ketika beranjak ke seuramoe teungoh (serambi tengah), maka kita akan menjumpai kamar pengantin yang dihiasi pernak-pernik bermotif khas Aceh lengkap dengan seperangkat piring-piring antik yang teratur seolah hidangan sedang disajikan di depan kamar. Selanjutnya di seuramoe likot (serambi belakang), kita akan menemukan berbagai peralatan traditional, mulai dari alat penangkap ikan (bubee),tudung penutup kepala dan timba dari pelepah pinang, ayunan dari rotan, tempat tidur yang konon disebut-sebut sebagai tempat tidur bagi wanita yang melahirkan, sampai dapur kayu yang lengkap dengan berbagai peralatannya.
ayunan bayi
Peralatan traditional
berbagai peralatan dapur
 Semua benda-benda tersebut mengajarkanku betapa piawainya masyarakat zaman dulu dalam membangun hidup mereka. Peralatan mereka sangat traditional, namun mereka sama sekali tidak lemah. Bahkan, mereka hidup dalam masyarakat yang kental akan nilai-nilai sejarah dan tata krama. Bagiku, museum Aceh adalah sebuah ensiklopedi nyata tempat generasi muda mengenal kembali Aceh dari masa ke masa. Di sini pula aku tersadar betapa Aceh kaya akan nilai-nilai seni dan budaya yang penuh tatakrama. Mudah-mudahan kita semakin pintar menjaga nilai-nilainya. Semoga saja!

Minggu, 27 April 2014

contoh puisi

Jumat, 25 April 2014

DUA HATI YANG JERNIH


     Mengajar membuatku semakin belajar bahwa kita perlu melihat sisi lain dari sebuah permasalahan. Belajar untuk bersikap adil, tenang dan juga belajar untuk menahan amarah. Biarpun kadang aku gagal!
Namun, belakangan ini beberapa hal membuatku semakin mencintai profesiku sebagai pengajar. Bukan karena aku semakin berani tampil sebagai guru ataupun semakin menguasai materi. Bukan sama sekali. Tetapi karena aku semakin sadar bahwa mengajar itu adalah caraku belajar menata diri. Mengajar adalah caraku belajar mengahadapi masalah di sekelilingku. Juga caraku belajar dari orang-orang sekelilingku, meskipun itu anak-anak kecil yang polos yang sering kujumpai belakangan ini.
Seperti beberapa hari yang lalu, kesabaranku diuji oleh pertengkaran dua bocah kelas lima es de. Sejak aku masuk keduanya tidak bisa diam, loncat kesana kemari. Sebungkus besar kue kriuk-kriuk plus sebotol besar minuman selalu mereka tenteng dalam kelas. Tas besar yang terletak di samping kursi mereka membuatku sadar bahwa keduanya adalah anak super sibuk. Tidak punya waktu untuk pulang ke rumah.  Begitu masuk, aku langsung melongo. “Bagaimana caraku mengajar jika muridnya tidak bisa duduk di tempat? Apakah aku harus mengajar sambil berlarian juga seperti mereka?”kata batinku.
“Miss, may I know your name?”
Tiba-tiba saja salah seorang bocah itu telah berdiri santai di depanku. Tangan kanannya masih asyik mengambil makanan kriuk-kriuk dalam bungkusan di tangan kirinya. Sementara mulutnya penuh oleh makanan. Aku menarik nafas. Sabar! Kusebutkan namaku.Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang duduk.
“Could you sit, dear? It’s impolait eating while standing,” pintaku.
Si anak itu duduk. Sedangkan anak satu lagi masih asyik buka-tutup pintu sambil ngunyah kriuk-kriuk. Kupinta ia duduk, Alhamdulillah mereka menurut. Kutanya nama mereka. Alhamdulillah keduanya sangat aktif. Bukan cuma nama, yang lain pun mereka ceritakan dengan full English. Cukup membuatku terkesan. Kutanya apa yang sudah mereka pelajari minggu kemarin. Keduanya langsung kasak-kusuk buka buku. Aku harap-harap cemas, bagaimana buku bacaan mereka? Dan…
Miss, we want to do homework here… Look! We have to underline repetition words and make some sentences just like the examples!” Kata Yudi. Aku melongo. Mereka mengeluarkan buku bahasa Indonesia.
Teacher ask us to find a text, Miss. ”jelasnya kemudian.
Aku bingung. Bagaimana mungkin mereka menemukan kata-kata ulang jika teksnya belum disiapkan? Akhirnya dengan kemampuan yang kupunya, kucoba membuat sebuah teks yang mengandung banyak kata-kata ulang. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk itu. Dan…
“Miss, how about me? Can you make it for me one?” tanya Rendi tiba-tiba.
“It’s for both of you,” jelasku. Aku memang tidak perlu membuat teks yang lain karena sudah jelas disebutkan bahwa teksnya boleh sama, yang penting kalimat yang mereka buat nantinya akan beda.
“No, Miss! I want this paper for me.” kata Rendi tegas. Ia menarik punya Yudi. Namun Yudi berhasil mengelak. Rendi hanya bisa menarik angin. Rendi nampak marah, sedangkan Yudi tertawa girang.
”It’s mine! Hueeek!” katanya sambil loncat-loncat dan menjulurkan lidah.
Pertengkaran dimulai! Kejar-kejaran dalam ruangan dimulai. Aku mulai panik. Kukerahkan segenap tenaga untuk menenangkan suasana. Tetapi nihil! Yang satu masih asyik ketawa-ketiwi, yang satu lagi sudah siap meneteskan air mata. 
"It for both of you, kids! You don't need to fight each other for that paper," kataku. kataku menguap begitu saja. 
“Come on kids! We have to do your homework now!” kataku setengah berteriak.
Tidak ada respon. Keduanya malah semakin gaduh berlarian dan berteriak. Aku terduduk karena kecapaian berteriak. Otakku berpikir keras. Bagaimana aku menjadi guru jika mengatasi dua anak hiperaktif ini saja aku tidak bisa. Aku hampir putus asa. But… Ahaaa! I’ve an idea. Aku ikut berlari bersama mereka. Dan gotcha! Rendi berhasil kutangkap. Itu artinya tidak ada lagi yang di kejar ataupun yang mengejar. Yang satu lagi pun berhenti. Aku sedikit lega.
“Kids, it’s impolite to ignore your teacher,” kataku.
“Is it a sin?” tanya Rendi polos.
“Yes! It is a sin.
“But I want that paper!” kata Rendi sambil menunjuk kertas di tanya yudi.
You both may use it. It’s not only for Yudi,” kujelaskan lagi.
Nooo, it’s mine! Hueek!”
Yudi malah kegirangan. Ia semakin suka menggoda Rendi. Sedangkan Rendi mulai mendung. Matanya mulai mengabur dan menjatuhkan titik-titik bening. Aku kebingungan. Yang satu becanda kelewatan, yang satu lagi sensitive luar biasa! Ooh, no! Rendi mulai duduk di sudut dan menjatuhkan kepalanya di atas lipatan tangan di meja. Di sana ia mulai terisak. Yudi terdiam. Ia tersadar bahwa ia salah. Aku duduk diam. Aku ingin melihat apa yang akan mereka lakukan.
“I’m kidding you…”

“No, I don’t care. You always like that! You promised me to not kidding me again. You break it!
Aku tetap diam. Yudi mendekat.
            “I’m sorry… It’s for you.” Yudi menyerahkan kertas di tangannya untuk Rendi.
            “ I will not forgive you, just leave me!”
            Aku seperti sedang menonton drama saja. But, it’s really real! Aku sadar, jika kudiamkan lebih lama lagi, kekacauan ini akan bertambah. Mereka harus belajar.
         “Kids, let’s me explain you something! Yudi and Rendi, please listen. You are friends. You have to care each other. You can’t reverence each other. Do you remember our prophet? He had been hurted by Quraisy for many years, more than twenty years, but he forgave them.”

                “Is it a sin, Miss?”

                “What?”

                “Having grudge?” Rendi tiba-tiba berhenti menangis.
                Yes!”Jawabku mantap.
                Kulihat keduanya hanya menatap satu sama lain. Yudi mendekati Rendi dan memberikan kertas yang tadi di tangannya.
                “It’s for you. I will search another one,” kata Yudi. Aku bisa melihat rasa ikhlas dari wajah tembemnya.
                “No, we can do it together.”

                “I will do it if you forgive me first.”

                “Yes, I’ll forgive you. I’m afraid of sin. Promise me you will not kid me again.”

                “Yes, I’ll, I’m afraid of sin, too”
            Aku menarik nafas lega. Ah, betapa mudahnya mereka menghilangkan dendam di hati mereka. Dalam semenit mereka bertengkar sampai menangis, hanya butuh butuh beberapa menit saja mereka untuk berbaikan. Mereka betul-betul takut dosa karena mendendam dan mengingkari janji. Ah, Yudi dan Rendi, kalian adalah pemilik dua hati yang jernih. Bagaimana denganku? Dalam sekejap, aku malu dan merasa naïf. Thanks a lot kids, you inspired me…
(foto: Google)




Senin, 21 April 2014

SELAMAT TINGGAL SERIBU SATU BAYANGAN

Lima tahun berada di Banda Aceh, aku telah melewati berbrbagai fase asam-asam manis. Dimulai dari jadi anak kos-kosan yang hanya mengenal kuliah-pustaka-kampus doang, ikut organisasi kampus untuk coba-coba, sampai menggeluti berbagai kegiatan organisasi di kampus dan di luar kampus yang kadang cukup memeras tenaga dan pikiran. Aku melewatinya tanpa menyadari adanya perubahan yang terjadi perlahan demi perlahan pada cara berpikirku. Aku tidak pernah tahu itu sebelumnya.

Setapak demi setapak langkah yang kuambil di sini sedikit banyak terrpengaruh dari orang-orang di sekelilingku. Ketika aku melihat orang yang sukses di bidang akademis, aku akan belajar mati-matian ingin menjadi orang tersebut. Di kemudian hari, saat aku menemukan orang yang sukses dalam dunia karir, aku kembali mencoba mengikuti jejaknya. Dan di kemudian hari, saat aku menemukan orang yang sukses di bidang kepenulisan, aku juga ingin sekali menjadi seperti mereka. Alhasil, langkah-langkahku terasa dibayang-bayangi oleh orang lain. Tidak jarang, aku mengikuti gaya dan cara mereka. Sering pula, aku mencoba melirik kegiatan-kegiatan yang sering mereka lakukan. Namun, aku kembali gagal.

Kini aku terpuruk, seolah-olah bayangan di cermin bukan lagi diriku sendiri, tetapi seribu satu bayangan orang lain yang pernah membuatku terinspirasi. Aku seperti kehilangan tujuan dan cita-cita yang pernah kutulis dalam sebuah catatan pribadi. Aku seakan lupa bahwa aku harus mandiri dan menginspirasi diriku sendiri.Dan kini aku tersadar ketika seribu satu inspiratorku membentuk lingkaran semu di sekitarku. Mereka menyodorkanku berbagai cara untuk mengikuti mereka. Telunjukku yang hanya dua, tidak mampu menunjuk mereka semua sekalian, melainkan menunjuk mereka satu persatu. Aku terhenyak dan tersadar, aku tidak bisa menggapai semua yang kuinginkan sekalian, tapi aku harus mewujudkannya satu persatu dengan usahaku.

Dalam dua hari ini, aku duduk merenung dan melakukan muhasabah terhadap cita-citaku yang sebenarnya. Aku kembali menelusuri lorong-lorong waktu yang lama tidak terjamah. Membangun puing-puing cita yang sempat terserak. Aku sadar bahwa aku tidak boleh menjadi orang lain. Terinspirasi boleh saja, namun cita-citaku  tetap tujuanku semata. Aku punya caraku sendiri untuk mewujudkannya. Mulai sekarang, waktu adalah milikku yang harus kujaga. Peluang adalah kesempatanku yang tidak boleh terlewat. Aku tidak  mau lagi 1001 bayangan mereka muncul di cerminku, sebab aku akan menggantinya dengan bayanganku sendiri. Selamat tinggal seribu satu bayangan... :)

waktu dan kesempatan tidak bisa kubeli
 

Jumat, 11 April 2014

MENUNTUT DAN DITUNTUT

Kita semua ingin keinginan. Ingin menjadi orang bahgia, menjadi yang paling baik, dan ingin dihargai. Kadang kita tidak jarang menginginkan orang di sekitar kita berubah menjadi apa yang kita inginkan. Contohnya saja, kita meminta orang di sekitar kita untuk diam ketika berbicara, sementara mereka tidak pernah kita berikan kesempatan berbicara. Kita juga sering menuntut mereka melakukan pekerjaan yang belum tentu kita sendiri menyukainya. Ya! itu sering terjadi, dalam sebuah keluarga sekalipun. Intinya, kita selalu menuntut sementara kita sendiri tidak mau dituntut. Jika demikian, adilkah kita?

Hasil dari sebuah tuntutan yang berlebihan adalah sebuah keretakan rasa, baik ukurannya kecil ataupun besar.  Orang di sekitar kita tidak lagi merasa nyaman berada di dekat kita  dan mulai menjaga jarak. Mereka merasa bahwa mereka hanya menjadi seonggok daging yang selalu kita manfaat tetapi tidak mendapatkan manfaat apa-apa dari kita.  Seorang teman akan menjauh jika selalu dituntut, seorang anak tidak akan akrab dengan orang tuanya jika orang tua menuntutnya melakukan apa yang tidak ia sukai, orang tua akan kesusahan jika dituntut untuk memberikan apa yang tidak mereka sanggupi, begitu juga seorang suami, ia akan terbeban jika harus memenuhi semua yang diinginkan istrinya. Padahal, jika posisinya dibalik, yang dituntut menjadi yang menuntut, belum tentu mereka sanggup memberikan apa yang diharapkan orang lain kepadanya. Menuntut memang mudah, tapi dituntut sering berujung pada kesusahan. Oleh karena itu, ayo kita menghindar dari sikap menuntut yang berlebihan terhadap orang-orang di sekitar  kita.  Dengan demikian, semua orang akan merasa nyaman berada di dekat kita. Jika tidak siap dituntut, janagn pernah menuntut orang lain. :)

sikap yang salah dalam meminta sesuatu

AKU CEMBURU

Semua orang pernah jatuh bangun dalam mengarungi bahtera kehidupan. Ada yang pernah bahagia sampai ingin meloncat ke langit, ada yang pernah sedih sekali sampai merasa ingin dibenamkan ke dasar bumi. Itulah kehidupan. 

Namun, di antara semua pernak-pernik hidup yang berwarna warni, ada hal-hal yang menarik perhatianku belakangan ini. Aku tertarik pada jalan hidup orang-orang di sekitarku. Ada begitu banyak sosok-sosok inspiratif yang selalu semangat dan tidak pernah mengeluh. Hidup ini mereka jalani dengan santai. Jika bahagia tidak pernah sampai meloncat-loncat sepertiku, dan jika sedih juga tidak histeris dan merasa paling menderita di dunia ini.

Pernah suatu hari, aku berkeluh kesah pada seorang kakak yang begitu mendamaikan. Aku berkeluh kesah tentang keadaanku yang sering kuanggap kurang beruntung. Seperti biasanya, ia menjawabnya dengan tenang. Menyemangati dengan kata-kata positif yang mendamaikan. Lalu, aku akan damai. Belakangan aku baru tahu bahwa beliau mempunyai masalah keluarga yang jauuh lebih berat dan beliau tanggung sendiri. Tidak pernah kudengar beliau berkeluh kesah tentang yang sangat rumit itu. Aku tidak pernah tahu itu. 

Di lain hari, aku menemukan begitu banyak sosok-sosok berhati pahlawan di sekitarku. Mereka selalu memberi dan jarang sekali menerima. Mereka juga tenang-tenang saja ketika orang-orang di sekitar mereka mempersoalkan materi yang mereka dapat. "Rejeki sudah Tuhan yang atur. Kenapa kita harus meragukanNya?" itu jawaban mereka. Santai tetapi tidak asal-asalan

Aku cemburu. Mereka adalah sosok-sosok yang tangguh dan kukuh. Mereka  layaknya mutiara yang terbenam dan tersimpan. Hanya orang-orang special yang diperuntukkan bagi mereka. Maka, tidak heran Allah menspesialkan mereka dengan berbagai cara-Nya. 

Ah, sangat banyak yang aku lewatkan selama ini. Semakin hari  aku semakin cemburu, dan semakin aku ingin belajar dari mereka. Terimakasih telah menginspirasiku selama  ini. Always stand by me, so that i'll learn the wisdom more and more...
support each other






Senin, 17 Maret 2014

DESKRIPSI RASA

Semua orang pernah berkeluh kesah, menceritakan suka dan dukanya kepada orang lain. Ini pula hal yang pernah saya lakukan. Mengeluhkan pening dan tidaknya rasa sakit kepada orang-orang sekitar ketika saya sakit kemarin. Jangankan melakukan aktifitas lain, bangun dari tempat tidur untuk shalat saja kepala saya langsung merasa diputar dan ditimpa martil berat. Belum lagi ketika mendengar suara kendaraan yang lewat di sekitar rumah, kepala terasa digergaji dengan besi api dari dalam. Tapi tetap saja, keluh kesah tidak membuahkan apa-apa bukan? Semakin saya mengeluh, semakin saya kecapaian.Helaan nafas pun berat sekali rasanya. 

Rasa capai akan lebih terasa ketika orang-orang di sekeliling saya bertanya,"Bagian mana yang sakit? Bagaimana sakitnya?" Saya bingung mendeskripsikan rasa sakit itu dengan kata-kata. Karena tetap saja, yang merasakan sakitnya adalah saya. Berkali-kali saya mendeskripsikan bahwa lantai terasa berjalan bagi saya. Benda-benda dan huruf apapun seperti melayang. Kepala layaknya ditikam. Ah! Susah sekali! Ujung-ujungnya orang di sekitar saya mengangguk prihatin dan mengatakan,"Cepat sembuh ya..."Saya sendiri sendiri tidak bisa mendiskripsikan lebih panjang bagaimana rasa sakit itu. Susah mendeskripsikannya dengan kata-kata.Saya hanya bergumam dalam hati,"Seandainya sakit itu bisa dilihat, mungkin tidak akan susah mendeskripsikannya."

sick!
Disinilah saya sadar sebuah misteri yang tidak bisa dipecahkan. Misteri cara pendeskripsian rasa dengan kata-kata. Bukan cuma rasa sakit, tetapi semua perasaan. Baik senang, susah, sedih, sakit, gembira, dan sebagainya. Mudah-mudahan suatu saat saya tahu caranya.... :)

HARGAI NYAWA ORANG LAIN

Pernah kamu melihat orang mengangkat telepon ataupun smsan sambil mengendarai kendaraan? Pernah melihat orang menerobos lampu merah? Atau, pernah jadi korban tabrakan gara-gara smsan atau telponan sambil berkendara? Atau, jangan-jangan kita sendiri termasuk si pelaku ini?  

Sering sekali saya menggerutu dalam hati ketika hal-hal tersebut terjadi di depan saya. Bagaimana tidak? berkali-kali saya hampir jadi korban akibat rasa tidak peka ini. Pernah seorang bapak berbaju dinas yang asyik smsan sampai tidak sadar motornya menghalangi jalan saya. Pernah juga ibu-ibu yang membawa balita di belakangnya sedang mengetik sms dan hampr menabrak pengendara di depannya. Saya yakin, mereka bukan orang-orang yang awam etika atau pun tidak tahu menahu tentang peraturan di tempat umum. Justru bisa jadi mereka adalah barisan "orang sibuk" di dinas-dinas, kampus, dan sekolah-sekolah. Namun, ayo kita berkhusnuzan saja bahwa mereka sedang lupa terhadap berbagai peraturan yang diciptakan untuk kemaslahatan bersama. Atau mungkin mereka adalah orang yang merasa "sok sibuk" sampai-sampai tega membahayakan nyawa orang lain demi kepentingan yang beberapa detik. Padahal, tidak ada ruginya berhenti untuk beberapa detik untuk mengangkat telpon ataupun membalas sms. Minimal, kita telah berusaha untuk menyelamatkan diri kita dan orang lain dari kecelakaan.

Selama kita smsan atau telponan sambil berkendaraan, tanpa sadar kita sedang menempatkan orang-orang di sekitar kita dalam bahaya. Ketika kita menelpon, banyak orang-orang di sekitar kita yang sedang melintas. Kita tidak bisa menjamin bahwa kita akan selamanya selamat ataupun beruntung karena tidak menabrak ataupun ditabrak orang lain. Kita juga tidak bisa menjamin bahwa kecelakaan yang terjadi hanya berupa kecelakaan kecil bukan? Bagaimana jika yang jadi korban adalah seorang balita tidak berdosa yang dibonceng ibunya yang sama sekali tidak tahu cara mengungkapkan sakit dengan kata-kata? Bagaimana pula jika yang menjadi korban adalah seorang ayah yang merupakan tulang punggung sebuah keluarga ataupun seorang ibu yang menjadi pencurah kasih sayang untuk anak-anaknya? Jangan sampai kita menjadi penyebab dari penderitaan berantai bagi orang lain.
bahaya menelpon ketika berkendara


Siapapun kita, mulai dari tukang becak sampai pegawai pemerintahan, semuanya menginginkan kenyamanan dalam menggunakan fasilitas umum. Semua ingin pergi dan pulang dengan selamat dan berkumpul dengan keluarga tercinta. Siapapun kita, hargailah nyawa orang lain. Please no texting and dialing while driving...

bahaya smsan ketika berkendara


Rabu, 26 Februari 2014

SEBUAH REFLEKSI CINTA ANGKA 23



          
            “Happy birthday ya!” tiba dua kepala menyembul dari balik pintu. Mereka Desi dan Novi, kakak beradik yang sudah kuanggap seperti saudaraku sendiri di kontrakan kami. Meski dengan mata agak merem karena baru saja tidur aku tertawa sambil mengucapkan terimakasih. Saat mereka menutup pintu, kubuka jam di hp; 12.05. Akhirnya Aku sudah dua puluh tiga tahun, hatiku berkata datar. Lalu kembali menenggelamkan diri di balik selimut. Bukan karena aku tidak peduli, tapi karena aku ingin berfantasi dengan kenangan demi kenangan selama setahun.
            Aku memulai angka 22 kemarin di rumah sakit Fakinah. Bukan aku yang sakit, tapi ummi. Jam 00.00 aku masuk rumah sakit dengan sesak di dada yang kutahan. Diam, itulah satu-satunya caraku agar tangisku tidak membuncah. Berkali-kali kubisikkan dalam hatiku, “Ini ujian! Allah sedang menggugurkan dosa kami dengan ujian ini,” itu bisikku pada diriku sendiri. Saat itu aku sendiri. Semua keluargaku yang lain memang sedang tidak bersamaku saat itu. Aku dan ummi sudah beberapa hari di rumah sepupuku untuk memudahkan ummi mengontrol ke dokter spesialis. Aku hanya dengan ummi, berdua saja. Singkat kata, aku duduk di kursi memegang tangan ummi yang terpasang jarum infus dengan tatapan nanar. Ummi diam, beliau lemah dan mata beliau terpejam. Aku tahu betul ummi saat itu sedang menahan pening karena dunia di sekitarnya seolah berputar, sesuatu yang sangat ditakuti oleh pengidap vertigo.
Saat itu, hanya aku yang bicara. Bicara dengan pikiranku sendiri. Mengucapkan sepatah kata ulang tahun untuk kurayakan sendiri. Dalam diam yang kupaksakan. Karena tenggorokanku tercekat oleh amukan. Sebuah sms mengejutkanku. Ucapan ulang tahun dari seorang kawan dekatku. Ces! Satu titik bening itu jatuh. Tidak ada suara. Tetap dalam diam. Hanya tanganku yang semakin erat memegang tangan ummi, mencari sedikit kekuatan. Dalam ruang sempit itu, hanya kami saja, aku dan ummi. Saat itu, aku tidak menginginkan sebongkah kue tar yang dihisi lilin. Tidak! Aku hanya ingin segera keluar dari ruang sepi itu bersama kesembuhan ummi. Itu saja!
Subuhnya abu sampai dari Sigli, diikuti oleh saudara dan family yang datang silih berganti. Kedatangan mereka cukup untuk menbungkam sunyi dan takut yang mendekapku semalam. Amukan semalam tidak pernah buncah. Ia perpendam sudah. Ia berganti dengan segenap haru saat berkumpul dengan saudara. Membuatku mengenal arti syukur karena ternyata di dunia aku tidak sendiri.
            Namun, musibah tidak membuatku selamanya terpuruk. Ada berbagai hal yang mulai kucoba tata sendiri. Aku mulai mencoba menyelesaikan semua permasalahanku sendiri. Jika dulu aku sering mengadu dan merengek kepada orang tuaku saat punya masalah, kini aku lebih memilih mencari solusinya dengan usahaku sendiri. Sering aku menelpon untuk mengabarkan berita bahagia seperti sripsiku yang hamper usai, KPM yang lancar dan kegiatan-kegiatan yang kulakukan bersama kawan-kawan, sidang skripsi dan yudisium. Berkali-kali aku meminta doa ketika aku merasakan ketakutan dan keraguan. Apalagi ketika menjelang sidang, berkali-kali aku menelpon meminta doa dari ummi dan abu. Biasanya, aku sedikit tenang setelah itu.
            Setengah bebanku terasa lepas saat aku yudisium. Dalam audit, berkali-kali air mataku jatuh. Wajah-wajah orang yang selalu mendukungku muncul satu persatu. Ummi, Abu, kak Meza, Abangku (Safrizal), Dek Fina, Dek Sulaiha dan Jamara (adikku), orang yang terdekat denganku dan  sahabat-sahabatku yang tidak bisa kusebut satu persatu. Kusms abu dan ummi, kubilang bahwa aku teringat mereka dan terimakasih pada mereka. Tanpa doa mereka mungkin aku bukan siapa-siapa. Ummiku menelpon dan kami berbicara beberapa saat untuk melepas rindu.
            Bulan-bulan selanjutnya aku lalui dengan jalan-jalan ke Bali, mengenal orang-orang hebat di FLP, dan Wisuda. Yang paling berkesan itu saat wisuda. Hari sebelum itu aku sering menetes membayangkan aku tidak akan bisa merayakan wisudaku dengan ummi. Ya, ummiku saat itu belum betul-betul sembuh. Terakhir ummi bilang “bek weuh hate” mungkin ummi tidak bisa datang nanti. Aku jawab “get”meski hatiku mengatakan “Aku ingin ummi datang.” Kukuatkan hatiku mempersiapkan hari wisudaku sendiri. Kucoba tegarkan jiwaku saat kudengar sahabat dan kawan-kawanku akan merayakan wisuda mereka dengan keluarga terdekat. Aku menanggapi semuanya dengan tersenyum dan diam.
            Pagi wisuda, aku berangkat dari rumah kak Meza di Darussalam. Diantar adikku, aku berkumpul dengan kawan-kawan di lapangan Tugu. Aneka warna kebaya dan gaun berpadu padan disana. Yang laki-laki berjas rapi, yang perempuan bergaun dan ber-make up cantik. Kuhibur diri dengan foto-foto dan bercanda. Sampai akhirnya aku ikut pawai arak-arakan  berjalan kaki kearah kampus bersama yang lain. Di tengah jalan tiba-tiba handphoneku bergetar, ummi menelponku.
            “Tolong lihat sebelah kanan, ummi disini. Sekarang cepat ambil cincin sama Dek Fina ya!” kata ummi di seberang. Aku mengalihkan pandanganku ke sebelah kanan. Kulihat ummi sedang melambaikan tangan. Sedangkan Dek Fina berlari ke arahku memberikan cincin padaku. Aku tersenyum dan trenyuh. Ah ummiku… bagaimana aku akan ingat soal cincin dan lain-lain jika Ummi dan Abu tidak hadir? Alhamdulillah, acara wisudaku berjalan mulus. Begitu siap, aku langsung keluar mancari ummi di antara lautan manusia. Kutelpon ummi. Kata ummi, beliau di tenda sebelah kiri. Aku langsung berlari ke sana. Kusalam dan kupeluk ummi dan adik-adikku dengan tangis. Tidak kuhiraukan make-upku yang bisa saja luntur. Disana kami hanya berpelukan dala tangis. Bahagiaku tidak bisa kuutarakan. Biarpun setelah itu kami hanya berfoto-foto ria di bawah pohon tanpa ke studio seperti yang lain, aku bahagia sekali. Semua terasa lengkap dengan kehadiran ummi dan abu, biarpun Sulaiha adikku dan Abangku Safrizal tidak bisa datang karena harus jaga rumah sekolah di Sigli.  Ya, biarpun kami hanya makan-makan di rumah kak Meza dan setelah dhuhur Ummi dan Abu plus adik kecilku Jamara harus pulang kembali ke Sigli.
            Setelah wisuda, kegiatanku bukan semakin berkurang. Malah semakin bertambah. Mengajar di beberapa tempat, posisi sebagai sekretaris FLP Wilayah Aceh membuatku belajar banyak hal. Ditambah lagi, aku menyempatkan diri untuk bersahabat dengan salah seorang kawan di luar negeri via skype dan semakin tahu bagaimana kehidupan orang-orang di luar negeriku. Aku harus banyak bersabar di lingkungan baru, dimana tidak semua orang bisa memahamiku seperti keluargaku memahamiku. Aku juga harus belajar kebijaksanaan dari orang-orang yang selalu menginspirasiku. Aku tidak selamanya benar dan kuat. Tidak. Aku pernah terbawa emosi sampai salah bicara dan menyakiti banyak orang. Aku juga sering terjatuh dan berusaha unutk bangkit berkali-kali. Yah, ini namanya hidup kan? Tugasku, adalah memperbaiki diri.
            Mengenai target, terlalu banyak yang  baik yang ingin kulakukan ke depan. Sebuah cita-cita besar untuk membahagiakan orang tua dan keluargaku, sebuah doa yang tidak putus untuk kesembuhan ummiku, serta ratusan target harian yang ingin kulakukan dengan baik. Aku ingin membenahi diri menjadi jiwa yang lebih baik. Mudah-mudahan. Amin.
Bertambah usia, berarti berkurang sisa umur dan berkurang kesempatan. Namun, bukan berarti aku harus menyerah bukan? Ada begitu banyak cinta di sekitarku yang ingin kugapai. Ada begitu banyak pula cinta yang masih ingin kutaburkan. Terimakasih untuk ummi dan abu, keluarga, sahabat, dan kawan-kawan semuanya untuk cinta dan doa kalian selama ini. Always love me as I wanna love you forever… :)

Kita tidak perlu kue tar atau pun lilin itu, sayang...
Kita hanya perlu segenggam semangat yang tidak pernah redup.
Bukan nyanyian ultah itu yang kita lantunkan,
namun, lantunan doa agar kita tetap berada dalam ridha dan lindunganNya...
Agar tangan kita tetap berangkulan, dan saling mengusap air mata saat kita tertatih...
Hanya itu saja.
 
 *special thanks  untuk isni wardaton atas catatan cintanya untukku pagi ini.





 
           


           

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Junaidah Munawarah alumnus IAIN Ar-Raniry Aceh, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP)Aceh dan penikmat tulisan apa saja.

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Blogger FLP

BTemplates.com

Blogroll