About

Jumat, 25 April 2014

DUA HATI YANG JERNIH


     Mengajar membuatku semakin belajar bahwa kita perlu melihat sisi lain dari sebuah permasalahan. Belajar untuk bersikap adil, tenang dan juga belajar untuk menahan amarah. Biarpun kadang aku gagal!
Namun, belakangan ini beberapa hal membuatku semakin mencintai profesiku sebagai pengajar. Bukan karena aku semakin berani tampil sebagai guru ataupun semakin menguasai materi. Bukan sama sekali. Tetapi karena aku semakin sadar bahwa mengajar itu adalah caraku belajar menata diri. Mengajar adalah caraku belajar mengahadapi masalah di sekelilingku. Juga caraku belajar dari orang-orang sekelilingku, meskipun itu anak-anak kecil yang polos yang sering kujumpai belakangan ini.
Seperti beberapa hari yang lalu, kesabaranku diuji oleh pertengkaran dua bocah kelas lima es de. Sejak aku masuk keduanya tidak bisa diam, loncat kesana kemari. Sebungkus besar kue kriuk-kriuk plus sebotol besar minuman selalu mereka tenteng dalam kelas. Tas besar yang terletak di samping kursi mereka membuatku sadar bahwa keduanya adalah anak super sibuk. Tidak punya waktu untuk pulang ke rumah.  Begitu masuk, aku langsung melongo. “Bagaimana caraku mengajar jika muridnya tidak bisa duduk di tempat? Apakah aku harus mengajar sambil berlarian juga seperti mereka?”kata batinku.
“Miss, may I know your name?”
Tiba-tiba saja salah seorang bocah itu telah berdiri santai di depanku. Tangan kanannya masih asyik mengambil makanan kriuk-kriuk dalam bungkusan di tangan kirinya. Sementara mulutnya penuh oleh makanan. Aku menarik nafas. Sabar! Kusebutkan namaku.Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang duduk.
“Could you sit, dear? It’s impolait eating while standing,” pintaku.
Si anak itu duduk. Sedangkan anak satu lagi masih asyik buka-tutup pintu sambil ngunyah kriuk-kriuk. Kupinta ia duduk, Alhamdulillah mereka menurut. Kutanya nama mereka. Alhamdulillah keduanya sangat aktif. Bukan cuma nama, yang lain pun mereka ceritakan dengan full English. Cukup membuatku terkesan. Kutanya apa yang sudah mereka pelajari minggu kemarin. Keduanya langsung kasak-kusuk buka buku. Aku harap-harap cemas, bagaimana buku bacaan mereka? Dan…
Miss, we want to do homework here… Look! We have to underline repetition words and make some sentences just like the examples!” Kata Yudi. Aku melongo. Mereka mengeluarkan buku bahasa Indonesia.
Teacher ask us to find a text, Miss. ”jelasnya kemudian.
Aku bingung. Bagaimana mungkin mereka menemukan kata-kata ulang jika teksnya belum disiapkan? Akhirnya dengan kemampuan yang kupunya, kucoba membuat sebuah teks yang mengandung banyak kata-kata ulang. Butuh waktu sekitar sepuluh menit untuk itu. Dan…
“Miss, how about me? Can you make it for me one?” tanya Rendi tiba-tiba.
“It’s for both of you,” jelasku. Aku memang tidak perlu membuat teks yang lain karena sudah jelas disebutkan bahwa teksnya boleh sama, yang penting kalimat yang mereka buat nantinya akan beda.
“No, Miss! I want this paper for me.” kata Rendi tegas. Ia menarik punya Yudi. Namun Yudi berhasil mengelak. Rendi hanya bisa menarik angin. Rendi nampak marah, sedangkan Yudi tertawa girang.
”It’s mine! Hueeek!” katanya sambil loncat-loncat dan menjulurkan lidah.
Pertengkaran dimulai! Kejar-kejaran dalam ruangan dimulai. Aku mulai panik. Kukerahkan segenap tenaga untuk menenangkan suasana. Tetapi nihil! Yang satu masih asyik ketawa-ketiwi, yang satu lagi sudah siap meneteskan air mata. 
"It for both of you, kids! You don't need to fight each other for that paper," kataku. kataku menguap begitu saja. 
“Come on kids! We have to do your homework now!” kataku setengah berteriak.
Tidak ada respon. Keduanya malah semakin gaduh berlarian dan berteriak. Aku terduduk karena kecapaian berteriak. Otakku berpikir keras. Bagaimana aku menjadi guru jika mengatasi dua anak hiperaktif ini saja aku tidak bisa. Aku hampir putus asa. But… Ahaaa! I’ve an idea. Aku ikut berlari bersama mereka. Dan gotcha! Rendi berhasil kutangkap. Itu artinya tidak ada lagi yang di kejar ataupun yang mengejar. Yang satu lagi pun berhenti. Aku sedikit lega.
“Kids, it’s impolite to ignore your teacher,” kataku.
“Is it a sin?” tanya Rendi polos.
“Yes! It is a sin.
“But I want that paper!” kata Rendi sambil menunjuk kertas di tanya yudi.
You both may use it. It’s not only for Yudi,” kujelaskan lagi.
Nooo, it’s mine! Hueek!”
Yudi malah kegirangan. Ia semakin suka menggoda Rendi. Sedangkan Rendi mulai mendung. Matanya mulai mengabur dan menjatuhkan titik-titik bening. Aku kebingungan. Yang satu becanda kelewatan, yang satu lagi sensitive luar biasa! Ooh, no! Rendi mulai duduk di sudut dan menjatuhkan kepalanya di atas lipatan tangan di meja. Di sana ia mulai terisak. Yudi terdiam. Ia tersadar bahwa ia salah. Aku duduk diam. Aku ingin melihat apa yang akan mereka lakukan.
“I’m kidding you…”

“No, I don’t care. You always like that! You promised me to not kidding me again. You break it!
Aku tetap diam. Yudi mendekat.
            “I’m sorry… It’s for you.” Yudi menyerahkan kertas di tangannya untuk Rendi.
            “ I will not forgive you, just leave me!”
            Aku seperti sedang menonton drama saja. But, it’s really real! Aku sadar, jika kudiamkan lebih lama lagi, kekacauan ini akan bertambah. Mereka harus belajar.
         “Kids, let’s me explain you something! Yudi and Rendi, please listen. You are friends. You have to care each other. You can’t reverence each other. Do you remember our prophet? He had been hurted by Quraisy for many years, more than twenty years, but he forgave them.”

                “Is it a sin, Miss?”

                “What?”

                “Having grudge?” Rendi tiba-tiba berhenti menangis.
                Yes!”Jawabku mantap.
                Kulihat keduanya hanya menatap satu sama lain. Yudi mendekati Rendi dan memberikan kertas yang tadi di tangannya.
                “It’s for you. I will search another one,” kata Yudi. Aku bisa melihat rasa ikhlas dari wajah tembemnya.
                “No, we can do it together.”

                “I will do it if you forgive me first.”

                “Yes, I’ll forgive you. I’m afraid of sin. Promise me you will not kid me again.”

                “Yes, I’ll, I’m afraid of sin, too”
            Aku menarik nafas lega. Ah, betapa mudahnya mereka menghilangkan dendam di hati mereka. Dalam semenit mereka bertengkar sampai menangis, hanya butuh butuh beberapa menit saja mereka untuk berbaikan. Mereka betul-betul takut dosa karena mendendam dan mengingkari janji. Ah, Yudi dan Rendi, kalian adalah pemilik dua hati yang jernih. Bagaimana denganku? Dalam sekejap, aku malu dan merasa naïf. Thanks a lot kids, you inspired me…
(foto: Google)




1 komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.

Mengenai Saya

Foto saya
Junaidah Munawarah alumnus IAIN Ar-Raniry Aceh, Anggota Forum Lingkar Pena (FLP)Aceh dan penikmat tulisan apa saja.

Pengikut

Total Tayangan Halaman

Cari Blog Ini

Blogger FLP

BTemplates.com

Blogroll