Mengajar membuatku semakin
belajar bahwa kita perlu melihat sisi lain dari sebuah permasalahan. Belajar
untuk bersikap adil, tenang dan juga belajar untuk menahan amarah. Biarpun kadang
aku gagal!
Namun, belakangan ini beberapa hal membuatku semakin
mencintai profesiku sebagai pengajar. Bukan karena aku semakin berani tampil
sebagai guru ataupun semakin menguasai materi. Bukan sama sekali. Tetapi karena
aku semakin sadar bahwa mengajar itu adalah caraku belajar menata diri. Mengajar
adalah caraku belajar mengahadapi masalah di sekelilingku. Juga caraku belajar
dari orang-orang sekelilingku, meskipun itu anak-anak kecil yang polos yang
sering kujumpai belakangan ini.
Seperti beberapa hari yang lalu, kesabaranku diuji oleh
pertengkaran dua bocah kelas lima es de. Sejak aku masuk keduanya tidak bisa
diam, loncat kesana kemari. Sebungkus besar kue kriuk-kriuk plus sebotol besar minuman selalu mereka tenteng
dalam kelas. Tas besar yang terletak di samping kursi mereka membuatku sadar
bahwa keduanya adalah anak super sibuk. Tidak punya waktu untuk pulang ke
rumah. Begitu masuk, aku langsung
melongo. “Bagaimana caraku mengajar jika muridnya tidak bisa duduk di tempat?
Apakah aku harus mengajar sambil berlarian juga seperti mereka?”kata batinku.
“Miss, may I know your name?”
Tiba-tiba saja salah seorang bocah itu telah berdiri santai
di depanku. Tangan kanannya masih asyik mengambil makanan kriuk-kriuk dalam
bungkusan di tangan kirinya. Sementara mulutnya penuh oleh makanan. Aku menarik
nafas. Sabar! Kusebutkan namaku.Namun, tidak ada satu pun dari mereka yang duduk.
“Could you sit, dear? It’s impolait eating while standing,”
pintaku.
Si anak itu duduk. Sedangkan anak satu lagi masih asyik
buka-tutup pintu sambil ngunyah kriuk-kriuk. Kupinta ia duduk, Alhamdulillah mereka
menurut. Kutanya nama mereka. Alhamdulillah keduanya sangat aktif. Bukan cuma nama,
yang lain pun mereka ceritakan dengan full English. Cukup membuatku
terkesan. Kutanya apa yang sudah mereka pelajari minggu kemarin. Keduanya
langsung kasak-kusuk buka buku. Aku harap-harap cemas, bagaimana buku bacaan
mereka? Dan…
“Miss, we want to do homework here… Look! We have to
underline repetition words and make some sentences just like the examples!”
Kata Yudi. Aku melongo. Mereka mengeluarkan buku bahasa Indonesia.
“Teacher ask us to find a text, Miss. ”jelasnya kemudian.
Aku bingung. Bagaimana mungkin mereka menemukan kata-kata ulang
jika teksnya belum disiapkan? Akhirnya dengan kemampuan yang kupunya, kucoba membuat
sebuah teks yang mengandung banyak kata-kata ulang. Butuh waktu sekitar sepuluh
menit untuk itu. Dan…
“Miss, how about me? Can you make it for me one?” tanya
Rendi tiba-tiba.
“It’s for both of you,” jelasku. Aku memang tidak perlu
membuat teks yang lain karena sudah jelas disebutkan bahwa teksnya boleh sama,
yang penting kalimat yang mereka buat nantinya akan beda.
“No, Miss! I want this paper for me.” kata Rendi tegas. Ia menarik punya
Yudi. Namun Yudi berhasil mengelak. Rendi hanya bisa menarik angin. Rendi
nampak marah, sedangkan Yudi tertawa girang.
”It’s mine! Hueeek!” katanya sambil loncat-loncat dan
menjulurkan lidah.
Pertengkaran dimulai! Kejar-kejaran dalam ruangan dimulai. Aku
mulai panik. Kukerahkan segenap tenaga untuk menenangkan suasana. Tetapi nihil!
Yang satu masih asyik ketawa-ketiwi, yang satu lagi sudah siap meneteskan air
mata.
"It for both of you, kids! You don't need to fight each other for that paper," kataku. kataku menguap begitu saja.
“Come on kids! We have to do your homework now!” kataku
setengah berteriak.
Tidak ada respon. Keduanya malah semakin gaduh berlarian
dan berteriak. Aku terduduk karena kecapaian berteriak. Otakku berpikir keras.
Bagaimana aku menjadi guru jika mengatasi dua anak hiperaktif ini saja aku
tidak bisa. Aku hampir putus asa. But… Ahaaa! I’ve an idea. Aku ikut
berlari bersama mereka. Dan gotcha! Rendi berhasil kutangkap. Itu
artinya tidak ada lagi yang di kejar ataupun yang mengejar. Yang satu lagi pun
berhenti. Aku sedikit lega.
“Kids, it’s impolite to ignore your teacher,” kataku.
“Is it a sin?” tanya Rendi polos.
“Yes! It is a sin.”
“But I want that paper!” kata Rendi sambil menunjuk kertas
di tanya yudi.
“You both may use it. It’s not only for Yudi,” kujelaskan
lagi.
“Nooo, it’s mine! Hueek!”
Yudi malah kegirangan. Ia semakin suka menggoda Rendi.
Sedangkan Rendi mulai mendung. Matanya mulai mengabur dan menjatuhkan
titik-titik bening. Aku kebingungan. Yang satu becanda kelewatan, yang satu
lagi sensitive luar biasa! Ooh, no! Rendi mulai duduk di sudut dan menjatuhkan
kepalanya di atas lipatan tangan di meja. Di sana ia mulai terisak. Yudi
terdiam. Ia tersadar bahwa ia salah. Aku duduk diam. Aku ingin melihat apa yang
akan mereka lakukan.
“I’m kidding you…”
“No, I don’t care. You always like that! You promised me to
not kidding me again. You break it!”
Aku
tetap diam. Yudi mendekat.
“I’m sorry… It’s for you.” Yudi
menyerahkan kertas di tangannya untuk Rendi.
“ I will not forgive you, just
leave me!”
Aku seperti sedang menonton
drama saja. But, it’s really real! Aku sadar, jika kudiamkan lebih lama lagi, kekacauan ini akan bertambah. Mereka harus belajar.
“Kids, let’s me explain you
something! Yudi and Rendi, please listen. You are friends. You have to care
each other. You can’t reverence each other. Do you remember our prophet? He had
been hurted by Quraisy for many years, more than twenty years, but he forgave
them.”
“Is it a sin, Miss?”
“What?”
“Having grudge?” Rendi tiba-tiba
berhenti menangis.
“Yes!”Jawabku mantap.
Kulihat keduanya hanya menatap
satu sama lain. Yudi mendekati Rendi dan memberikan kertas yang tadi di
tangannya.
“It’s for you. I will search
another one,” kata Yudi. Aku bisa melihat rasa ikhlas dari wajah tembemnya.
“No, we can do it together.”
“I will do it if you forgive me
first.”
“Yes, I’ll forgive you. I’m
afraid of sin. Promise me you will not kid me again.”
“Yes, I’ll, I’m afraid of sin,
too”
Aku menarik nafas lega. Ah,
betapa mudahnya mereka menghilangkan dendam di hati mereka. Dalam semenit
mereka bertengkar sampai menangis, hanya butuh butuh beberapa menit saja mereka
untuk berbaikan. Mereka betul-betul takut dosa karena mendendam dan mengingkari
janji. Ah, Yudi dan Rendi, kalian adalah pemilik dua hati yang jernih. Bagaimana
denganku? Dalam sekejap, aku malu dan merasa naïf. Thanks a lot kids, you
inspired me…
(foto: Google) |
buaagus, sarat pelajaran :-)
BalasHapus