Pendidikan tingkat
sekolah dasar bukanlah tingkat pendidikan yang patut dianggap sepele. Hal ini
karena pada tingkat sekolah dasar anak-anak baru saja melewati masa golden age dimana fungsi otak anak-anak sedang
bekerja secara maksimal untuk menyerap dan merekam segala sesuatu di
lingkungannya. Untuk itu, di masa ini anak harus dididik sebaik-baiknya agar
menjadi manusia yang beriman kepada Tuhan, berilmu, mandiri, peka terhadap sosial
dan juga bertanggung jawab seperti yang tertuang dalam peraturan pemerintah
Nomor 17 tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan. Berbagai
upaya pun dilakukan pemerintah untuk mewujudkan cita-cita mulia ini, salah
satunya adalah dengan mewajibkan kurikulum 2013 sebagai acuan dalam pendidikan
dengan tujuan agar pendidikan tingkat sekolah dasar disesuaikan dengan minat siswa
dan jauh dari unsur pemaksaan.
Namun demikian, kenyataan menunjukkan
bahwa masih banyak masalah-masalah yang muncul dalam pendidikan sekolah dasar. Salah
satunya adalah masih adanya budaya tidak naik kelas bagi siswa kelas 1 sampai
kelas 3 di beberapa sekolah di Indonesia pada musim naik kelas tahun lalu (Beritasatu.com,11
Oktober 2016). Fatalnya, data Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan menyebutkan
bahwa 422.082 siswa SD dinyatakan tidak naik kelas. Hal ini sungguh sangat
disayangkan mengingat pendidikan sekolah dasar adalah masa awal pembangunan
perspektif siswa tentang sekolah. Dalam artian, masa ini adalah masa dimana
siswa diperkenalkan dengan dunia sekolah untuk pertama kalinya. Untuk itu, kesan
yang ditimbulkan haruslah membawa dampak yang baik bagi siswa ke depannya agar
mereka merasa bersemangat untuk terus melanjutkan sekolah karena kecintaan
mereka akan dunia pendidikan. Peristiwa tinggal kelas akan meninggalkan kesan
yang buruk bagi siswa, dimana siswa akan berfikir bahwa sekolah merupakan sebuah
pemaksaan kehendak belajar dan sama sekali tidak menyenangkan. Tentu saja, hal
ini akan membuat siswa kehilangan motivasi untuk sekolah. Untuk itu, para
pendidik harus mampu menghindari hal buruk tersebut dengan berbagai cara. Salah
satu caranya adalah dengan menerapkan model pembelajaran yang menyenangkan dan
sesuai untuk dunia anak-anak sekolah dasar.
Salah satu model pembelajaran yang
mengedepankan peningkatan motivasi siswa adalah pembelajaran dengan model ARCS
(singkatan dari Attention, Relevance, Confidence,
and Satisfaction) yang dipopulerkan oleh John Keller tahun 1987. Model
pembelajaran ini dinilai cukup ampuh karena memuat pendekatan psikologis yang
bertujuan meningkat motivasi. Model ini juga selaras dengan kurilkulum 2013
yang mengutamakan keaktifan siswa dalam belajar. Dalam model pembelajaran ini, perhatian
siswa ditarik dengan hal-hal yang disukainya (attention), pelajaran dikaitkan dengan hal-hal yang berhubungan langsung
dengan kehidupan siswa (relevance), rasa
percaya diri siswa ditingkatkan dengan cara yang menyenangkan (confidence), dan kepuasan siswa
terhadap hasil belajar mereka sendiri dimunculkan dengan memberikan feedback yang membangun (satisfaction). Tentu saja, “konsep
lama” dimana yang tidak mencapai nilai tertentu akan tinggal kelas tidak boleh
diberlakukan dalam model pembelajaran ini. Apalagi konsep “3D (Duduk, Diam, dan
Dengar)” yang membuat membuat anak-anak seperti robot, tentu harus dibuang
jauh-jauh. Sebaliknya, dalam model pembelajaran ARCS guru dan siswa sama-sama
bekerja sama untuk meningkatkan kemampuan dan memotivasi siswa yang kurang
percaya diri sehingga siswa tersebut betul-betul mampu dan merasa tidak
ditinggalkan oleh kawan-kawannya.
Di dalam kurikulum 2013,
jumlah Kompetensi Dasar untuk anak sekolah dasar dikurangi dan jam belajar di
tambah. Perlu diketahui bahwa penambahan jam belajar disini bukanlah untuk
menambah beban siswa dengan tugas, mendengarkan ceramah guru, dan mengisi
lembar LKS. Tetapi tujuannya adalah untuk memberikan guru dan siswa keluasan
waktu agar siswa bisa mengembangkan diri dengan cara bersosialisasi, mengamati,
dan bekerjasama dengan kawan-kawannya. Tentunya konsep ARCS model bisa
diterapkan dalam kurikulum ini agar pendidikan tidak terkesan kaku. Agar siswa
tidak bosan, tariklah perhatian siswa dengan hal-hal yang sesuai dengan dunia
mereka (attention). Misalnya, untuk
belajar tentang berhitung, guru bisa memutarkan lagu tentang berhitung atau
video animasi tentang menghitung jeruk di atas pohon atau menghitung jumlah
ulat pemakan daun. Tentu saja anak-anak akan menyukai ini. Jangan pernah
memaksa anak-anak untuk berdiri di depan
kelas kemudian menghafal perkalian atau pembagian, karena mereka tidak akan
mengetahui manfaat dan tujuan pembelajaran itu secara langsung. Lebih parahnya,
anak-anak akan terasa bosan karena harus terus menerus mendengarkan kawannya menghafal
di depan kelas sambil menunggu giliran dirinya dipanggil untuk menghafal di
depan kelas.
Pendidikan dengan model ARCS
juga menyarankan agar pembelajaran menyuguhkan tujuan pembelajaran pada
anak-anak secara langsung. Bukan dengan mendikte lalu menulis tujuan
pembelajaran. Tetapi diharapkan agar siswa bisa merasakan atau menyentuh
langsung hasil pembelajaran mereka (relevance).
Tentunya, dalam hal ini guru harus mampu membuang jauh-jauh sifat diktator di
kelas dan beralih menjadi teman bermain untuk anak-anak di kelas. Sebaliknya,
guru mengajak anak-anak untuk merasakan secara langsung ilmu yang diperolehnya
agar ia merasa bahwa belajar itu kebutuhan dan sesuatu yang menyenangkan!
Sebagai contoh, guru mengajak anak-anak bermain tebak-tebakan tentang hewan,
belajar menghitung dengan menghitung kelereng yang tumpah, belajar hukum
Archimedes dengan cara menuangkan air ke dalam pipa-pipa kecil, mengenal nama
hewan dengan cara mewarnai gambar-gambar hewan yang ada dan lain-lain. Bahkan,
untuk pelajaran ilmu sosial anak-anak akan lebih suka diajak untuk study-tour
langsung ke satuan polisi lalu lintas untuk belajar tentang rambu-rambu dari
pada disuruh menghafal rambu-rambu yang ada di buku cetak. Dengan demikian,
anak-anak merasa bahwa mereka “butuh” belajar di sekolah karena disana mereka
bisa menemukan hal-hal baru yang mereka butuhkan untuk kehidupan mereka.
Selanjutnya, kepercayaan diri (confidence) siswa ditingkatkan dengan
memberikan kesempatan kepada semua siswa untuk menjadi yang terbaik. Ajak
anak-anak yang nilainya di bawah rata-rata untuk berdiskusi dalam kelompok. Buat
ia merasa bisa melakukan apa yang dilakukan oleh kawan-kawannya yang lain. Beri
anak tersebut kesempatan untuk memperbaiki nilai-nilai yang kurang. Bahkan,
jika perlu anak tersebut diberikan kesempatan untuk menjadi ketua kelompok
dalam suatu kegiatan, sehingga ia akan merasa dipercayai.
Sebaliknya, memberikan hukuman kepada anak-anak
yang kurang mampu dalam menerima pelajaran dan memperoleh nilai yang rendah merupakan
hal yang paling fatal. Anak-anak merasa akan terpojok dan tertekan ketika ia
dihukum karena kekurangannya. Guru yang baik semestinya mencari solusi bagi
anak didiknya yang mempunyai masalah. Pendidik yang baik akan berusaha meningkatkan
rasa percaya diri anak tersebut dengan pendekatan-pendekatan tertentu. Jangan
pernah mengatakan kata-kata yang kurang menyenangkan seperti,”nilai kamu sangat jelek”, “kamu sangat
bodoh”, dan lain-lain yang membuat anak merasa malu. Sebaliknya, guru harus
memotivasi si anak dengan kata-kata penyemangat seperti,”kamu pasti bisa lebih baik dari ini, ayo semangat!”
Selnajutnya, aspek kepuasan dalam
belajar (satisfaction) dalam diri
siswa dimunculkan dengan memberikan hadiah, pujian, ataupun kejutan-kejutan yang
membuat siswa bangga terhadap hasil belajar mereka. Sesekali, siapkan
sertifikat untuk anak-anak yang berhasil mencapai peringkat tertentu untuk
membuat anak-anak lain tertarik. Selain itu, biasakan untuk mengucapkan kata-kata
yang menyenangkan seperti “Bagus sekali
Rudi!”atau “Kerja bagus, Randa,”
dan kata-kata lainnya. Namun, untuk anak-anak
yang masih kurang pencapaiannya berikan pujian sekaligus umpan balik yang
membangun seperti “Bagus Dini! Bacaannya
sudah bagus, hanya perlu latihan sedikit agar lebih lancar.” Dengan
demikian, anak-anak bisa merasakan bahwa usaha mereka dalam belajar dihargai
dan memunculkan rasa puas siswa dengan pencapaian mereka.
Model pendidikan yang senada juga
diterapkan di Negara Finlandia yang sekarang terkenal sebagai Negara yang memilki sistem pendidikan terbaik
di dunia. Negara yang dulu pernah menjadi salah satu negara termiskin di dunia
ini, berhasil mengembangkan pola pendidikan yang menyenangkan untuk sekolah
dasar dimana anak hanya belajar tiga sampai empat sehari dan sama sekali tidak boleh
dibebankan dengan pekerjaan rumah. Selebihnya, anak dibebaskan bermain agar
mampu bersosialisasi dengan orang lain dan mengetahui dunia lebih luas. Anak-anak
yang kurang mampu akan dimotivasi dan diberi kesempatan untuk belajar dengan
kawan-kawannya yang memiliki kemampuan yang lebih tinggi sehingga ia akan
terpacu untuk mengikuti kawan-kawannya dalam belajar. Guru juga tidak
henti-hentinya mendampingi dan memberikan semangat agar siswa tersebut mampu sebagaimana
teman-temannya yang lain. Dengan demikian, anak-anak akan merasa puas terhadap
hasil belajar mereka karena mereka merasa diperlakukan secara adil dan tidak merasa
terasing dari kawan-kawan mereka yang lain.
Perlu diingat bahwa pendidikan itu bukan
semata-mata proses transfer ilmu, tapi sesuatu yang melibatkan cita dan rasa.
Pendidikan sekolah dasar seyogyanya mencerminkan dunia anak-anak yang
semestinya. Dalam artian, pembelajaran tingkat sekolah dasar harus dilakukan
dengan pendekatan-pendekatan yang menyenangkan. Hal ini karena fitrah anak-anak
adalah ingin bermain dan mencoba hal-hal baru. Buang jauh-jauh budaya “3D
(Duduk, Diam, dan Dengar)” yang membuat anak-anak bersifat kaku seperti robot. Sebaliknya,
ajak mereka bermain sambil belajar agar mereka bisa menikmati dunia mereka
sebagai anak-anak. Inilah yang menjadi tugas pendidik yang sebenarnya. Tugas
yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang mempunyai cita dan rasa. Sebaliknya,
jika belajar hanya diartikan secara sempit sebagai proses transfer ilmu saja,
maka computer yang punya koneksi internet “lebih banyak” dan “lebih lengkap”
ilmunya dari guru-guru yang ada di
sekolah dasar. Hal ini diharapkan bisa menjadi suatu ilham mengapa anak-anak
tetap membutuhkan manusia sebagai guru yang sesungguhnya.
Referensi:
-
Francom,
G., & Reeves, C.T (2010). John M. Keller:
A Significant Contributor to the Field of Educational Technology. Journal
of Educational Technology May-June 2010.
-
John,
M. Keller (1987). Development and the Use
of The ARCS Model of Motivational Design. Journal of Instructional
Development, Vol 10. No.3
-
Beritasatu.com.
Ratusan Siswa Tidak Naik Kelas, Sistem
Pendidikan Indonesia Tidak Konsisten, dipublikasikan pada 11 Oktober 2016
(Media Online)
0 komentar:
Posting Komentar